Pensi di PJB Gresik Kiriman Adik

>> Monday 16 November 2015

Read more...

PEMBENTUKAN TEORI SOSIOLOGI MODERN

>> Tuesday 4 March 2014

Pendahuluan Sosiologi Modern
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi, aturan-aturan dan lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan yang utuh. Dalam hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik yang menyangkut latar belakang, permasalahan dan sebab musababnya. Untuk mengetahui kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori. Lahirnya sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa Barat, baik yang menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV, perubahan sosial politik, reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri maupun Revolusi Perancis.
Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan senantiasa berkembang terus, terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman terhadap pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau lambat akan melahirkan pemikiran sosiologis. Bertolak dari kenyataan yang demikian dapatlah dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi sejak awal XVIII berkenaan dengan adanya industrialisasi, urbanisasi, kapitalisme dan sosialisme yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.

Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya
Istilah paradigma kali pertama diintrodusir oleh Thomas S. Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolution” tahun 1962 yang diterjemahkan “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains” tahun 1989. Kuhn tdk menjelaskan makna paradigma dengan jelas, baru oleh Mastermann konsep paradigma Kuhn diklasifikasi menjadi tiga hal, yaitu:  Pertama, Paradigma metafisik (metaphisical paradigm). Paradigma Metafisik memerankan fungsi, menunjuk kepada sesuatu yang pusat perhatian komunitas ilmuwan, menunjuk kepada komunitas ilmuwan yang memusatkan perhatian untuk menemukan sesuatu yang ada, serta menunjuk pada ilmuwan yang berharap menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Kedua, Paradigma sosiologis (sociological paradigm), yakni paradigma sosiologi yang mengacu pada pengertian keragaman fenomena yang menjadi kajian ilmuwan yang hasilnya diterima oleh ilmuwan dibidangnya. Ketiga, Paradigma konstruk (construct paradigm). Paradigma konstruk ialah konsep yang paling sempit berkaitan dengan ilmu tertentu.
Oleh karena ketidakjelasan Kuhn dalam menjelaskan Paradigma, maka Robert Friedrichs kali pertama menjelaskan paradigma sebagai pandangan mendasar dari satu disiplin ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari “a fundamental image a dicipline has of its subject matter”. Secara umum, paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan. Kemudian, bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut George Ritzer paradigma dalam sosiologi, yaitu :
a.       Paradigma fakta sosial, menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi individu dan dikembangkan oleh Emile Durkheim dalam “The Rules of Sociological Method” tahun 1895 dan “Suicide” tahun 1897. Ia mengkritik sosiologi yang didominasi Auguste Comte dengan positivismenya bahwa sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim menempatkan fakta sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research) bukan dengan penalaran murni. Teori-teori dlm paradigma ini adalah: teori Fungsional Struktural, teori Konflik, teori Sosiologi Makro, dan teori Sistem.Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah: Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Struktur sosial mencakup jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi & terorganisir serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sedangkan pranata sosial mencakup norma & pola nilai Empat Proposisi yg mendukung kelompok sbg fakta sosial
1.        Kelompok dilihat melalui sekumpulan individu.
2.        Kelompok tersusun atas beberapa individu.
3.        Fenomena sosial hanya memiliki realitas dlm individu, dan
4.        Tujuan mempelajari kelompok utk membantu menerangkan/meramalkan tindakan individu.
b.      Paradigma definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang berperanan tetap individu dan pemikirannya. Tokohnya adalah Max Weber yg menganalisis tindakan social (social action). Tindakan sosial adalah tindakan individu terhadap orang lain yang memiliki makna untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kata kuncinya “tindakan yang penuh arti”. Weber tidak memisahkan antara struktur dan pranata sosial karena keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang penuh makna. Untuk mengkajinya digunakan metode “analisis pemahaman” (interpretative understanding). Teori-teori yg tergabung dalam paradigma ini adalah Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, Etnometodologi, dan Dramaturgi.
c.       Paradigma perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan perilaku individu yang bersangkutan. Tokohnya B.F. Skinner. Obyek Sosiologi adalah perilaku manusia yg tampak serta kemungkinan perulangannya (hubungan antar individu & lingkungannya). Perilaku sosial (X) tindakan sosial. Perilaku sosial: mekanisme stimulus dan respon, tindakan sosial: aktor hanya penanggap pasif dari stimulus yang datang padanya. Teori yang tergabung yakni Sosiologi Behavioral dengan konsep “reinforcement” dan  proposisi “reward and punishment”, serta teori Exchange dengan asumsi selalu ada “take and give” dalam dunia sosial.
Aktor (Perilaku Sosial): hanya sekedar memproduksi kelakuan.
Agen (Definisi Sosial): mereproduksi & memproduksi tindakan
Paradigma dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan adanya berbagai macam teori dan metode dalam pendekatannya.

Pembahasan Teori Sosiologi Modern
1.      Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons
Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.
Asumsi dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Teori Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons.
Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Teori Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa alat, tujuan, situasi, dan norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Analisis Struktural Fungsional dan Diferensiasi Struktural
Sebagaimana telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan fungsional.
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan evolusioner.
Perlu diketahui pula bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada sibernetika teori sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan masyarakat itu melewati empat proses perubahan struktural, yaitu pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis proses perubahan.
Perlu diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons telah berhasil membangun suatu teori yang besar untuk mengadakan pendekatan dalam masyarakat, akan tetapi ia tidak luput dari serangkaian kritikan, baik dari mantan muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog lain, yaitu George Homans, Williams Jr., dan Alvin Gouldner, sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian di muka.
  
2.      Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton
Strategi Dasar Analisis Strukturalisme Fungsional
Teori Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton ternyata memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih menekankan pada orientasi subjektif individu dalam perilaku maka Robert K. Merton menitikberatkan pada konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku.
Menurut Robert K. Merton konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada yang mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest), akan tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu yang tidak dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut pendapatnya konsekuensi-konsekuensi objek dari individu dalam perilaku tersebut ada yang bersifat fungsional dan ada pula yang bersifat disfungsional.
Anggapan yang demikian itu merupakan ciri khas yang membedakan antara pendekatan Robert K. Merton dengan pendekatan fungsionalisme struktural yang lainnya. perlu diketahui bahwa Teori Fungsional Taraf Menengah yang ia cetuskan tersebut, merupakan pendekatan yang sesuai untuk meneliti hal-hal yang bersifat kecil atau khusus dan bersifat empiris dalam sosiologi.
Disfungsi dan Perubahan Sosial
Menurut Robert K. Merton dinyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku mampu mengarah pada integrasi dan keseimbangan, sedangkan konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat disfungsional akan memperlemah integrasi.
Konsekuensi-konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan dalam sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling berhadapan antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang munculnya struktur dari yang bersifat alternatif sebagai substitusi untuk menetralisasi ketegangan.
Perlu diketahui bahwa adanya ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan adanya struktur-struktur baru tersebut akan berarti bahwa konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional itu akan mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Di samping itu disfungsi juga akan menyebabkan timbulnya anomie dan masalah sosial. Kenyataan tersebut juga mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru, yang pada hakikatnya menunjukkan adanya perubahan sosial yang mengarah pada perbaikan tatanan dalam masyarakat.
Kelompok Referensi (Reference Group)
Teori Fungsionalisme Robert K. Merton yang menekankan pada konsekuensi objektif dari individu dalam berperilaku. Keharusan adanya konsekuensi objektif baik fungsional maupun disfungsional dan harus adanya konsep-konsep alternatif fungsional dalam pelaksanaan analisisnya, tepat apabila diterapkan pada masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan di antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu, Robert K. Merton mengemukakan suatu Teori Kelompok Referensi yang digunakan sebagai penilaian dirinya dan pembanding serta menjadi bimbingan moral. Teori Kelompok Referensi (Reference Group Theory) yang terdiri dari Kelompok Referensi Normatif, Kelompok Referensi Komparatif dan ada bentuk lain, yaitu kelompok keanggotaan (Membership Reference Group). Kelompok Referensi Normatif, yaitu suatu kelompok yang menempatkan individu-individu mengambil standar normatif dan standar moral, sedangkan Kelompok Referensi Komparatif, yaitu kelompok yang memberikan kepada individu-individu suatu kerangka berpikir untuk menilai posisi sosialnya dalam hubungannya dengan posisi sosial orang lain. Sementara Kelompok Keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok yang menempatkan bahwa individu itu sebagai anggotanya.

3.      Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Pemikiran tentang Otoritas dan Konflik Sosial
Teori Konflik Ralf Dahrendorf tidak bermaksud untuk mengganti teori konsensus. Dasar Teori Konflik Dahrendorf adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut. Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20 telah terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali itu,, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah. Hal yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar pemikiran Karl Marx.
Selain itu, Karl Marx sama sekali tidak membayangkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya akan lahir serikat buruh dengan segenap mobilitas sosialnya, yang mampu meniadakan revolusi buruh. Perlu diketahui bahwa dalam suatu perusahaan ada pimpinan dan ada para pekerja yang pada suatu saat dapat saja terjadi konflik. Akan tetapi dengan adanya pengurus dari organisasi tenaga kerja tersebut untuk mengadakan perundingan dengan pimpinan perusahaan maka konflik dapat dihindari.
Pendekatan Ralf Dahrendorf berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif. Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai suatu yang mendasari semua organisasi sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa menurut Ralf Dahrendorf kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok yang dikuasai.
Intensitas dan Kekerasan
Teori Konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf juga membahas tentang intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik. Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas.
Selain itu Teori Konflik Ralf Dahrendorf juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya. Tingkat kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat kejasmanian.
Perlu diketahui bahwa menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur. Pada hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya penutupan itu secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang hebat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran-saluran yang berfungsi membicarakan penyelesaian konflik.
Pengertian Konflik
Konflik dapat mengakibatkan adanya perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, apabila kondisi-kondisi tertentu telah dipenuhi. Teori Konflik Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa konsekuensi atau fungsi konflik, yaitu dapat mengakibatkan adanya perubahan sosial, khusus yang berkaitan dengan struktur otoritas. Ada tiga tipe perubahan struktur, yaitu (1) perubahan keseluruhan personil dalam posisi dominasi; (2) perubahan sebagian personil dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang mendominasi.
Selain itu menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa perubahan struktural itu dapat digolongkan berdasarkan tingkat ekstremitasnya dan berdasarkan tingkat mendadak atau tidaknya. Dalam hal ini Ralf Dahrendorf mengakui bahwa teorinya yang menekankan pada konflik dan perubahan sosial merupakan perspektif kenyataan sosial yang berat sebelah. Hal tersebut karena meskipun Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Konflik dianggap oleh Ralf Dahrendorf sebagai perspektif valid dalam menghampiri kenyataan sosial, akan tetapi hanya mencakup sebagian saja dari kenyataan sosial yang seharusnya. Kedua teori tersebut tidak lengkap apabila digunakan secara terpisah, dan oleh karena itu harus digunakan secara bersama-sama, agar dapat memperoleh gambaran kenyataan sosial yang lengkap.
  
4.      Teori Konflik Lewis A. Coser
Konflik dan Solidaritas
Semula Lewis A. Coser menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan fungsionalisme struktural dan mengabaikan konflik. Menurut pendapatnya bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan hasil kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya proses-proses yang tidak merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis A. Coser ingin membangun suatu teori yang didasarkan pada pemikiran George Simmel. Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok dan antarindividu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang bersangkutan.
Konflik antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan tumbuh dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.
Konflik dan Solidaritas Kelompok
Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. la menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial terkandung antagonisme, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam, (in group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial.
Perlu diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan ditekan maka mengungkapkannya untuk mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa demikian karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik meledak, mungkin akan sangat keras.
Konflik akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya. Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan, apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping itu, konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.
Perbedaan-perbedaan antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota kelompok dalam (in group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka konflik akan tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama sekali.
Konsekuensi Konflik
Konflik merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang senantiasa ada dalam kehidupan bersama. Sebenarnya konflik tidak usah dilenyapkan, akan tetapi perlu dikendalikan konflik akan senantiasa ada di masyarakat, hal tersebut karena dalam masyarakat itu terdapat otoritas. Hal tersebut dikandung maksud bahwa apabila di suatu pihak bertambah otoritasnya maka di lain pihak akan berkurang otoritasnya. Selain itu juga karena adanya perbedaan kepentingan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Konflik dapat dikendalikan apabila kelompok yang terlibat dalam konflik dapat menyadari adanya konflik, dan perlu dilaksanakannya prinsip-prinsip keadilan. Di samping itu juga harus terorganisasi secara baik terutama yang menyangkut semua kekuatan sosial yang bertentangan. Dalam hal ini, apabila upaya pengendalian konflik itu tidak dilakukan maka konflik yang tertekan yang tidak tampak di permukaan, dapat meledak sewaktu-waktu dan merupakan tindakan kekerasan. Konflik yang tertekan dapat menyebabkan putusnya hubungan, dan apabila emosionalnya meninggi maka putusnya hubungan tersebut dapat meledak secara tiba-tiba. Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran alternatif sehingga rasa dan sikap pertentangan dapat dikemukakan dengan tidak merusak solidaritas.

5.      Teori Pertukaran Sosial George C. Homans dan Teori Pertukaran Perilaku Peter M. Blau
Pendekatan Perilaku
Semula George C. Homans tidak menaruh perhatian masalah pertukaran sosial dalam mengadakan pendekatan terhadap masyarakat karena pada awalnya ia mengarahkan perhatian pada pendekatan fungsionalisme struktural. Pendekatan fungsionalisme struktural ternyata mempunyai arti yang sangat penting karena mampu memberi masukan terhadap teori sosiologi, terutama dalam hubungannya dengan struktur, proses dan fungsi kelompok sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul The Human Group. Menurut pendapatnya analisis fungsionalisme struktural mempunyai manfaat untuk menemukan dan memberikan uraian, akan tetapi pendekatan tersebut tidak mampu menjelaskan. Selanjutnya, berhubung pendekatan fungsionalisme struktural itu tidak dapat menjelaskan berbagai macam hal maka menurut pendapatnya dianggap sebagai suatu kegagalan.
Berhubung pendekatan fungsionalisme struktural dianggap gagal dalam memberikan fenomena-fenomena baru yang muncul dalam interaksi sosial di masyarakat maka ia berusaha menyempurnakannya dengan prinsip-prinsip pertukaran sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka ia tinggalkan pendekatan fungsionalisme struktural dan selanjutnya menyatakan tentang pentingnya pendekatan psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala sosial. Menurut pendapatnya dengan psikologi dapat dijelaskan mengenai faktor yang menghubungkan sebab dan akibat. Dalam hal yang menghubungkan antara sebab dan akibat hanya dapat dijelaskan oleh proposisi psikologi melalui pendekatan perilaku. Namun, pada mulanya ia juga menggunakan pendekatan ilmu ekonomi karena diasumsikan bahwa orang yang berperilaku itu memperoleh ganjaran dan menghindari hukuman. Akan tetapi, ia juga berpendapat bahwa perilaku orang itu tidak semata-mata alasan ekonomi, melainkan juga karena adanya rasa kepuasan, harga diri dan persahabatan.
Perlu diketahui bahwa George C. Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku sebagaimana diajarkan oleh B.F. Skinner dapat menjelaskan pertukaran sosial. Adapun proposisi yang mampu memberikan penjelasan pertukaran sosial, yaitu (1) proposisi sukses, artinya semakin perilaku itu memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan perilaku tersebut; (2) proposisi stimulus, artinya apabila stimulus menyebabkan adanya ganjaran maka pada kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan apabila ada stimulus yang serupa; (3) proposisi nilai, artinya semakin tinggi nilai suatu tindakan maka semakin senang orang melaksanakan; (4) proposisi deprivasi satiasi, artinya semakin orang memperoleh ganjaran tertentu maka semakin berkurang nilai itu bagai orang yang bersangkutan; (5) proposisi restu-agresi, artinya ganjaran yang tidak seperti yang diharapkan maka akan menyebabkan marah dan kecewa serta dapat menyebabkan perilaku yang agresif.
Pendekatan Pertukaran Perilaku
George C. Homans dan Peter M. Blau adalah tokoh dari Teori Pertukaran sosial. Namun, tidak seperti George C. Homans yang membatasi analisisnya pada jenjang sosiologi mikro, Peter M. Blau berupaya menjembatani pada jenjang sosiologi makro dan mikro dari jenjang analisis sosiologi. Perlu diketahui bahwa baik C. Homans maupun Peter M. Blau menilai analisisnya pada proses interaksi, namun Peter M. Blau melanjutkan analisisnya dengan membahas struktur yang lebih besar. Dalam hal ini, Peter M. Blau menunjukkan bahwa dalam proses pertukaran dasar menghadirkan fenomena yang berupa struktur sosial yang lebih kompleks. Dalam teori pertukaran sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran materiil, misal yang berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian.
Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah (1) suatu perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat tercapai lewat interaksi dengan orang lain; (2) suatu perilaku atau tindakan harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau penghargaan intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan jasa.
Harapan-harapan yang akan diperoleh dalam pertukaran sosial menurut Peter M. Blau, yaitu (a) ganjaran atau penghargaan; (b) lahirnya diferensiasi kekuasaan; (c) kekuasaan dalam kelompok; dan (d) keabsahan kekuasaan dalam kelompok. Dapat dikemukakan bahwa interaksi sosial dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu didasarkan pada ganjaran atau penghargaan yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Peter M. Blau berpendapat bahwa (1) individu-individu dalam kelompok-kelompok yang sederhana (mikro) satu sama lain dalam pertukaran sosial mempunyai keinginan untuk memperoleh ganjaran ataupun penghargaan; dan (2) tidak semua transaksi sosial bersifat simetris yang didasarkan pada pertukaran sosial yang seimbang.
Pertukaran sosial yang tidak seimbang akan menyebabkan adanya perbedaan dan diferensiasi kekuasaan karena dalam pertukaran tersebut ada pihak yang merasa lebih berkuasa dan mempunyai kemampuan menekan dan di lain pihak ada yang dikuasai serta merasa ditekan. Kekuasaan menurut Peter M. Blau adalah kemampuan orang atau kelompok untuk memaksakan kehendaknya pada pihak lain.
Adapun strategi atau cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap orang lain yaitu memberikan sebanyak mungkin kepada pihak lain yang membutuhkan, sebagai suatu upaya menunjukkan statusnya yang lebih tinggi dan berkuasa, agar mereka yang dikuasai merasa berutang budi dan mempunyai ketergantungan.
Dalam pertukaran sosial menunjukkan adanya gejala munculnya kekuasaan yang terjadi pula dalam suatu kelompok. Dalam kelompok akan terjadi persaingan antarindividu, dan tiap individu akan berusaha memperoleh kesan lebih menarik jika dibanding dengan yang lain. Agar orang itu terkesan lebih menarik dari orang lain syaratnya dapat menarik perhatian orang lain. Dalam persaingan itu nantinya akan nampak adanya pihak atau orang yang dapat menarik perhatian orang-orang yang dalam kelompok yang bersangkutan. Kelebihan orang yang bersangkutan dapat menarik perhatian orang lain kemungkinan karena kepandaiannya, kejujurannya, kesopanannya ataupun kebijaksanaannya. Dari tiap-tiap kelompok akan ada yang menonjol dan yang menonjol itu akhirnya akan muncul satu orang yang paling menarik perhatian orang dalam kelompok-kelompok tersebut maka muncullah kekuasaan, dalam arti ada pemimpin dan ada yang dipimpin. Dalam hal ini, pemimpin (pemegang kekuasaan) akan memperoleh penghargaan sebagai akibat tanggung jawab yang dapat dipenuhinya. Sementara orang yang dipimpin akan mendapat penghargaan karena ketaatannya, baik karena tugas yang diselesaikan maupun kesediaannya mematuhi peraturan-peraturan yang ada.
Perintah yang dipatuhi adalah perintah yang diberikan oleh pemimpin yang sah. Agar perintah dipatuhi maka pemimpin (pemegang kekuasaan) harus mempunyai wewenang. Wewenang yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan digunakan untuk merekrut anggota dalam kelompok.
  
6.      Interaksionisme Simbolik William James dan Charles Horton Cooley serta John Dewey
Interaksionisme Simbolik menurut William James
Teori interaksionisme yang dikemukakan oleh William James dilandasi oleh aliran Pragmatisme. Ia berpendapat bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Adapun mengenai pandangan William James dapat dirangkum dalam suatu uraian sebagai, berikut.
Manusia dapat memperoleh sendiri sebagian apa yang diperlukan oleh pengalaman kita yang sesuai dengan yang dikehendaki karena sebagai bagian dari dunia adalah hasil dari perbuatan manusia itu sendiri. Agama merupakan suatu kepercayaan yang mampu memberikan kepuasan rohani, rasa aman, damai, dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Kebenaran gagasan-gagasan dan ucapan-ucapan tidaklah berada dalam kesesuaian antara gagasan-gagasan dan fakta-fakta yang dapat ditemukan secara objektif melainkan dalam kegunaan yang dimiliki gagasan-gagasan tersebut bagi tindakan; Manusia mempunyai naluri-naluri meskipun naluri tersebut peranannya kurang penting. Adapun yang dianggap penting adalah kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan dalam interaksi dengan lingkungannya. Dalam interaksi, manusia mengembangkan suatu "diri", dan tidak hanya terdapat satu diri saja melainkan lebih dan satu diri, yang dibedakan menjadi diri materiil dan diri sosial yang diberikan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang terus berinteraksi dengan seseorang. Perlu diketahui bahwa William James terkenal karena meneruskan dan mengembangkan konsep dan (self). Selain itu, ia juga berpendapat, bahwa perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri seseorang muncul dari interaksinya dengan orang lain.
Interaksionisme menurut Charles Horton Cooley
Menurut Charles Horton Cooley hidup ini tidak ada perbedaan secara biologis antara manusia satu dengan yang lain. Individu dengan masyarakat terjalin suatu hubungan yang organis sehingga antara individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan antara individu dan masyarakat ada saling ketergantungan secara organis.
Konsep diri menurut Charles Horton Cooley disebut looking glass self karena dalam setiap interaksi sosial, seseorang yang terlibat merupakan cerminan dan yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri. Analisisnya mengenai pertumbuhan sosial individu, ia mengembangkan "diri sosial" menurut William James. Dalam looking glass self ada tiga unsur yang dapat dibedakan, yaitu (1) bayangan mengenai orang-orang lain melihat kita; (2) bayangan mengenai pendapat yang dipunyai orang tentang kita, dan (3) rasa diri yang dapat berarti positif atau negatif.
Tingkah laku orang seolah-olah merupakan cermin bagi imajinasi pribadi tertentu yang mempunyai tiga elemen, yaitu (1) imajinasi tentang bagaimana seseorang tampil; (2) imajinasi tentang bagaimana orang lain menilai terhadap penampilan itu; dan (3) reaksi-reaksi emosional terhadap penilaian orang lain.
Menurut Charles Horton Cooley konsep diri dibentuk oleh apa yang dinamakan kelompok primer. Dalam kelompok ini terdapat hubungan yang bersifat muka berhadapan dengan muka atau "wawanmuka" dan di sinilah terbentuknya watak manusia. Hubungan antara anggota sangat erat. Dalam anggota saling membaur sehingga tujuan yang akan dicapai akan ada kesamaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya hubungan yang mesra, yaitu (1) adanya rasa solidaritas yang tinggi di antara para anggatanya dan mereka merasa membutuhkan kepentingan yang sama; dan (2) ada perasaan senasib dan sepenanggungan karena merasa mempunyai latar belakang sejarah yang sama.
Syarat yang harus dimiliki kelompok primer, yaitu (1) para anggota kelompok secara baik berdekatan antara yang satu dengan yang lainnya; (2) jumlah anggota sedikit dan (3) hubungan antara anggota kelompok bersifat langsung.
Menurut Samuel Stouffen fungsi kelompok primer, yaitu membantu individu dalam perkembangan dan pendewasaannya mempunyai sifat; (1) memberi bantuan motivasi dan landasan kuat kepada anggota; (2) kelompok mempunyai nilai praktikal untuk individu; dan (3) loyalitas dapat menyebabkan adanya hubungan erat dan bantuan dalam ikatan kelompok. Sementara keuntungan bagi kelompok primer, yaitu (1) menunjang sifat-sifat baik manusia dan menghindari sifat-sifat lemahnya, dan memberikan kekuatan batin serta dorongan kepada individu; (2) mempertebal ketergantungan individu dari kelompoknya; (3) menyerap individu dan kepribadiannya dalam kehidupan yang bersifat kolektif; dan (4) memperlihatkan reaksi yang didasarkan pada perasaan. Adapun jasa yang pokok dari kelompok primer, yaitu (1) memenuhi kepentingan naluriah manusia; (2) memberi rasa aman kepadanya dan (3) memberi perlindungan dan memungkinkan pembentukan kepribadian individu.
Interaksionisme Simbolik menurut John Dewey
John Dewey adalah seorang pragmatisme ia menyebut sistem pemikirannya dengan istilah instrumentalisme, yaitu suatu upaya untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, pengumpulan-pengumpulan dalam bentuk-nya yang bermacam-macam. Menurut John Dewey pemikiran manusia bertolak dari pengalaman-pengalaman, dan penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu keadaan yang tidak pasti menjadi keadaan yang pasti, sedang makna yang terkandung dalam pikiran manusia itu senantiasa berada dalam interaksi yang bersifat dialektik, baik dengan pengalaman maupun dengan tindakan manusia.
Instrumentalisme menekankan pada kemajuan, pandangan ke depan dan usaha-usaha manusia, serta menekankan pada hasil-hasil atau akibat-akibat, dalam hal ini akibat tersebut sesuatu yang memuaskan. Adapun yang disebut memuaskan adalah: sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia, sesuatu itu dianggap benar apabila dapat dibuat eksperimen dan dapat dibuktikan kebenarannya, serta sesuatu itu benar apabila membantu perjuangan makhluk untuk mempertahankan kebenarannya.
Pandangan John Dewey menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berarti semua tindakannya diberi cap masyarakatnya. Sumbangan John Dewey terletak pada pandangannya bahwa pikiran (mind) seseorang berkembang dalam rangka untuk menyesuaikan dan dengan lingkungan. Pandangannya mengenai pendidikan ia menganggap ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan dengan filsafat. Menurutnya filsafat adalah teori umum dari pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah untuk mem-bangkitkan sikap hidup demokratis dan mengembangkannya.
Dalam filsafat pendidikan dikenal aliran progresivisme. Aliran ini menentang sistem pendidikan yang otoriter dan absolut. Adapun ciri-ciri sistem pendidikan Progresivisme, yaitu: pendidikan harus bersifat aktif dan dikaitkan dengan minat serta kepentingan anak; anak didik harus diberi latihan-latihan untuk memecahkan persoalan-persoalan; pendidikan adalah pembudayaan hidup itu sendiri dan bukan mempersiapkan untuk dapat hidup. Peranan guru dalam pendidikan adalah membimbing dan memberi nasihat kepada anak didik dalam memecahkan persoalan, sekolah merupakan tempat untuk melatih kerja sama dengan orang lain; pendidikan harus bersifat demokratis.
Pendapatnya mengenai pengetahuan dinyatakan bahwa fakta, dan arti dari sesuatu dapat dianggap baik atau tidak baik dengan mencari sampai seberapa jauh watak operasionalnya. Pendapatnya mengenai nilai berkembang secara kontinu karena adanya saling pengaruh-mempengaruhi antara pengalaman baru di antara individu-individu dengan nilai-nilai yang telah tersimpan dalam kebudayaan.

7.      Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Pemikiran-pernikiran Geroge Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk yang paling rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Di samping itu, George Herbert Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa dorongan biologis memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat sosial. Di samping itu, George Herbert Mead juga sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan ekspresi dari perasaan George Herbert Mead juga dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan John Dewey. Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri secara sadar, dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya pikir reflektif. Namun, ada kalanya terjadi tindakan manusia dalam interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak melalui pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada binatang.
Bahasa atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon tertentu dari pihak lain.
Tertib masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.
Konsep diri menurut George Herbert Mead, pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan "Siapa Aku". Konsep diri terdiri dari kesadaran individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kesadaran diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari titik pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat Goerge Herbert Mead tentang pikiran, menyatakan bahwa pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara "aku" dengan "yang lain" di dalam aku. Untuk itu, dalam pikiran saya memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan kepada saya.
"Kedirian" (diri) diartikan sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya sendiri dan konsepsi orang lain terhadap dirinya Konsep tentang "diri" dinyatakan bahwa individu adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam "diri" itu tidaklah semata-mata pada anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi orang lain saja. Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang bertindak ditunjukkan dengan konsep "I" dan diri sebagai objek ditunjuk dengan konsep "me" dan Mead telah menyadari determinisme soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberatsebelahan dengan membedakan di dalam "diri" antara dua unsur konstitutifis yang satu disebut "me" atau "daku" yang lain "I" atau "aku". Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other. Teori George Herbert Mead tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu "I" (aku) dan "me" (daku) itu sangat rumit dan sulit untuk di pahami.
Perkembangan Konsep Diri dan Pengambilan Peran serta Organisasi Sosial
Konsep diri George Herbert Mead menekankan bahwa tahap-tahap yang dilalui anak-anak itu secara bertahap mereka memperoleh konsep diri yang menghubungkan anak-anak dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung dalam keluarga dan kelompok- kelompok yang lain. Identitas anak akan selalu bertambah apabila anak sudah mulai bermain dengan rekan-rekannya. Pengembangan identitas sosial harus dicapai lewat proses belajar bermasyarakat dan proses ini disebut sosialisasi.
Menurut Soejono Dirdjosisworo sosialisasi mengandung tiga pengertian dan menurut Kamanto Sunarto dinyatakan bahwa salah satu teori peranan yang dikaitkan dengan sosialisasi, yaitu teori yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. George Herbert Mead menguraikan mengenai tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia, yaitu (1) tahap play-stage (tahap bermain), (2) tahap game-stage (tahap permainan), dan (3) generalized other (orang lain yang digeneralisasikan). Pada tahap ini seseorang dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam masyarakat. Apabila seseorang anak berhasil mengambil peranan orang lain yang digeneralisasikan itu maka "diri"nya akan dapat mencapai perkembangan penuh, dan kelakuan individu dikendalikan orang lain yang digeneralisasikan tersebut. Menurut George Herbert Mead sikap generalized other adalah sikap masyarakat. Proses sosial mempengaruhi perilaku individu yang terlibat di dalamnya dan menjalankan proses itu yaitu masyarakat mengontrol tingkah laku anggotanya.
Teori Interaksionisme simbolik beranggapan bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk lewat proses interaksi dan komunikasi antarindividual dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Konsep George Herbert Mead tentang masyarakat menekankan pada kekhususan model praxis manusia di mana dengan menjembatani interaksi manusia dengan alam dan interaksi manusia dengan manusia lain.
Menurut George Herbert Mead sesungguhnya beberapa jenis aktivitas kerja sama telah menyebabkan adanya kedirian. Di sana terdapat penghilangan keorganisasian di mana organisasi itu bekerja sama, dan dengan jenis kerja sama ini maka isyarat individual akan menjadi stimulasi bagi dirinya sendiri dengan bentuk yang sama sebagaimana bentuk stimulus yang lain sehingga dengan demikian perbincangan isyarat dapat menghilangkan karakter individual, dan kondisi semacam itu diduga dalam pengembangan kedirian (self).
Manusia secara aktif menentukan lingkungannya, dan sementara dalam waktu yang bersamaan lingkungannya juga menentukan manusia. Menurut George Herbert Mead yang lebih penting yaitu tidak ada bentuk organisasi sosial yang perlu dianggap sebagai sesuatu yang final.

8.      William Issac Thomas dan Herbert Blumer
William Issac Thomas
William Issac Thomas adalah tokoh Sosiologi Amerika yang terkenal sangat kontroversial, tetapi juga dianggap sebagai orang yang mempunyai pemikiran cemerlang pada masanya. Teoremanya yang sangat terkenal yang berbunyi 'if men define situations as real, they are real in their consequences', dianggap menawarkan pendekatan baru dalam memahami perilaku manusia dalam berinteraksi. Pendekatan yang ditawarkan adalah dalam rangka keluar dari pendekatan positivistik dan juga pendekatan yang sifatnya individualis dan subjektif ke dalam data-data yang sifatnya sosiologis di mana interpretasinya bersifat objektif.
Karya Thomas sangat banyak, tetapi yang dianggap monumental adalah The Polish Peasant in Europe and America yang berisi penjelasan tentang masalah identitas etnik sehubungan dengan masalah perubahan sosial. Karya ini juga dianggap sebagai perbaikan atas karya pertamanya yang berjudul Sex and Society: Studies in the Social Psychology of Sex yang dianggap banyak mengandung bias biologi maupun bias psikologi. Selanjutnya, tulisannya yang berjudul The Unadjusted Girl yang membahas tentang 'definisi situasi' dianggap memberi sumbangan yang sangat penting dalam bidang teori terhadap perkembangan pendekatan interaksionisme simbolik.
Berdasarkan teori 'definisi situasi', perilaku bukan hanya merupakan respon refleksif terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Perilaku merupakan buah dari proses definisi subjektif aktor terhadap stimulus tersebut. Di dalam proses definisi subjektif ini terkandung tahap pengujian dan pertimbangan atas stimulis yang datang dan respons yang akan dimunculkan.
Herbert Blumer
Herbert Blumer merupakan salah seorang tokoh teori interaksionisme simbolik yang mewakili aliran pragmatis. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya George Herbert Mead, tetapi pada akhirnya dia tetap mampu membangun teorinya sendiri. Dia termasuk orang yang sangat aktif, tidak saja hanya dalam kegiatan-kegiatan akademik melainkan juga dalam urusan-urusan administrasi di universitas tempatnya mengajar. Herbert Blumer termasuk sangat produktif, terbukti dengan banyak hasil karyanya baik yang berupa buku maupun artikel. Simbolic Interactionism: Perspective and Method yang ditulisnya tahun 1969 sampai saat ini tetap menjadi acuan bagi kajian-kajian interaksionisme simbolik. Dalam bukunya ini, Blumer menekankan tentang pentingnya kesadaran aktor dan bagaimana aktor tersebut mendefinisikan situasinya dan bertindak berdasarkan rasa kepemilikan terhadap dirinya sendiri.
Interaksionisme simbolik itu sendiri menurut Blumer bertumpu pada tiga premis, yaitu sebagai berikut. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain; Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Dalam bentuk ketiga premis tersebut sebenarnya terletak bangunan dari ide dasar pemikiran Blumer, yaitu apa yang disebutnya 'root images'. Images ini merupakan dasar dari cara pandang interaksionisme simbolik tentang tingkah laku manusia dan masyarakat manusia, serta kerangka dari pembentukan teori interaksionisme dan interpretasi.

9.      Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman dan Peter L. Berger
Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya (lebih) merupakan bagian dari psikologi sosial yang menyoroti interaksi antar-individu dengan menggunakan simbol-simbol. Konsep interaksionisme simbolik Erving Goffman juga menyoroti masalah-masalah yang berhubungan dengan interaksi antara orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan penafsiran-penafsiran di mana peranan antara the self dan the other mendapat porsi perhatian yang sama dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme simbolik Erving Goffman memang selalu mengacu kepada konsep-konsep 'impression management', role distance, dan secondary adjustment di mana ketiganya bertumpu pada konsep dan peranan the self dan the other tadi. Selain itu, Goffman juga menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu interaksi atau hubungan tatap muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi dalam analisis sosiologisnya.
Inti dari ajaran Goffman adalah apa yang disebut dengan dramaturgy. Dramaturgy yang dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi yang diberikan Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi yang dilakukan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan hubungannya dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan. Seperti layaknya sebuah panggung maka ada bagian yang disebut frontstage (panggung bagian depan) dan backstage (panggung bagian belakang) di mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan dan fungsi backstage terhadap keberhasilan penampilan di frontstage, kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar perhitungan benar-benar bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua bagian tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai oleh beberapa ahli sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan studi yang menyangkut interaksi antara orang-orang yang menjadi kajian mereka.
Interaction Order adalah artikel 'penutup' dari seluruh karya-karya Goffman sebelum ia wafat tahun 1982. Dalam tulisannya ini, Goffman secara konsisten tetap menyoroti masalah interaksi tatap muka yang ordonya dimulai dari skala yang terkecil atau terendah menuju skala terbesar atau tertinggi, yaitu yang terdiri dari persons, contact, encounters, platform performances, dan celebrations. Meskipun hampir sebagian besar analisis Goffman tidak menyertakan konsep penting interaksionisme simbolik, yaitu self interaction, namun bagi Goffman, seorang aktor yang berada 'di atas panggung' itu harus mampu menafsirkan, memetakan, mengevaluasi, dan mengambil tindakan sehingga atas dasar kemampuannya itu manusia dikategorikan sebagai makhluk yang aktif. Bagi Goffman, sebagai makhluk yang aktif, manusia itu justru harus mampu untuk memanipulasi situasi yang dihadapinya. Hal inilah yang mendasari pandang Goffman bahwa seorang sosiolog harus mampu melakukan analisis secara mandiri atas kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya.
Teori Interaksionisme Peter L. Berger
Peter L. Berger sebenarnya bukanlah tokoh interaksionisme simbolik murni. Ajarannya memang lebih condong ke arah fenomenologi meskipun di dalamnya, konsep-konsep dramaturgi, realitas sosial, dan hubungan tatap muka (face-to-face interaction) masih menjadi sorotannya di mana hal ini konsisten dengan konsep-konsep yang menjadi dasar acuan di dalam interaksionisme simbolik.
Dramaturgi Berger memang 'agak sedikit' berbeda dengan miliknya Goffman. Para pelaku atau aktor di dalam dramaturgi Berger 'menciptakan' dan 'mengembangkan' sendiri skrip atau jalan cerita yang akan 'dimainkannya', sedangkan pada dramaturginya Goffman para pelaku atau aktor itu 'hanya' tinggal menjalankan atau memainkan skrip (jalan cerita), di mana skrip itu 'ditulis' dan 'dikembangkan' oleh orang lain. Realitas sosial bagi Berger haruslah terdiri dari unsur-unsur subjektif dan objektif di mana keseimbangan kedua unsur itu harus tercipta demi keseimbangan realitas sosial itu sendiri. Seperti halnya Goffman, Berger juga menerapkan konsep hubungan antarmanusia yang disebutnya sebagai hubungan inter subjektif. Bagi Berger, face-to-face interaction atau hubungan tatap muka merupakan hubungan manusia yang sesungguhnya. Pemikiran Berger (juga Luckman) mengacu kepada realitas subjektif dan objektif yang keduanya itu dijadikan kerangka pemikiran untuk melakukan pendekatan secara mikrososiologis.
Proses dialektik, bagi Berger dan Luckman, adalah moments yang diawali dengan externalization atau eksternalisasi, kemudian proses itu menjadi objektivation atau objektivasi, dan diakhiri dengan internalization atau internalisasi. Ada dua hal penting dalam proses eksternalisasi, yaitu penciptaan suatu realitas yang baru serta pemeliharaan atau pembaharuan kembali realitas yang sudah ada, sedangkan objektivasi maksudnya adalah suatu proses di mana orang-orang itu dapat menangkap dan memahami realitas. Di sini peranan bahasa sangat penting karena bahasa merupakan alat untuk memahami realitas sosial. Sedangkan internalisasi artinya (proses) melihat setiap orang sebagaimana adanya, sebagai orang itu sendiri. Di dalam internalisasi ini sesungguhnya terdapat proses reifikasi yang secara konseptual memiliki makna a dehumanized world artinya dunia yang (sudah) dimanusiawikan.

10.  Postmodernisme
Dari Modernisme ke Postmodernisme
Postmodernisme lahir sebagai gugatan atau penolakan terhadap modernisme. Postmodernisme menganggap modernisme gagal mewujudkan pencerahan umat manusia. Rasio yang didewakan oleh kalangan modernisme sebagai subjek yang menentukan dalam upaya menyejahterakan umat manusia ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan. Modernisme telah melahirkan ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan teori-teori besarnya, modernisme memang telah mampu menciptakan kesejahteraan sebagian umat manusia, tetapi modernisme ternyata juga memiskinkan sebagian besar umat manusia yang lain. Modernisme telah menyebabkan manusia kehilangan harkat kemanusiaannya secara utuh. Semua itu menjadi sumber gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Karena penggugatan tersebut maka ada pula yang menyebut post- modernisme dengan dekonstruksi, yang sebenarnya merupakan sifat dari postmodernisme.
Paling tidak ada lima alasan penggugatan postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana dicita-citakan para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, Keyakinan bahwa ilmu pengetahuan modern mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia ternyata keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu pengetahuan modern kurang memperhatikan dimensi mistik dan metafisik manusia karena terlalu memperhatikan atribut fisik individu.
Sifat lain postmodernisme selain penggugatan adalah bersifat bebas, lokal, penolakan terhadap universalisme, dan penolakan terhadap kontinuitas. Wacana pemikiran postmodernisme kini telah merambah ke berbagai disiplin ilmu.
Postmodernisme dalam Sosiologi
Perkembangan pemikiran postmodernisme banyak mempengaruhi perkembangan ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial yang banyak menghasilkan teori-teori sosial besar Untuk menghadapi masalah itu, ada yang berpendapat sebaiknya sosiolog melepaskan daya tarik sosiologi postmodern dan bekerja keras lewat perbincangan sosiologis tentang postmodernisme. Hal itu perlu dilakukan mengingat sosiologi postmodern mengandung risiko adanya kontradiksi dalam istilah-istilahnya, terutama jika kita memahami sosiologi sebagai ilmu sosial yang sistematis dan menghasilkan dalil-dalil umum. Akar pemikiran mengenai postmodernisme bersumber mulai dari pemikiran modernisme Weber, teori kelas Marxis yang disebut dengan strukturalis, dilanjutkan oleh Teori Kritis mazhab Frankfurt yang juga dikenal dengan Teori Kritik Ideologi, kemudian terakhir pemikiran Foucault yang lebih dikenal sebagai poststrukturalis.
Dalam masyarakat postmodern dapat dilihat dari perubahan perilaku ekonomi dari masyarakat yang mengutamakan asas manfaat menjadi masyarakat yang lebih mengutamakan simbol atau tanda. Suatu benda dimiliki bukan karena benda itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lebih karena benda tersebut melambangkan simbol, tanda, dan status tertentu. Karena lebih mengutamakan simbol maka masyarakat postmodern lebih mengagungkan citra. Citra yang sebenarnya merupakan realitas semu dianggap seolah-olah realitas yang sebenarnya yang ditampilkan melalui iklan dan tontonan. Karena itu, masyarakat postmodernisme juga disebut masyarakat hiperrealis dan masyarakat konsumer.
Tokoh-tokoh Postmodernisme
Postmodernisme lahir dari pergolakan pemikiran para ahli dengan latar belakang berbeda sehingga menghasilkan berbagai ragam pemikiran, dengan gaya dan bahasa yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip dasar postmodernisme yang menolak penyeragaman. Kita akan mengalami kesulitan untuk mencapai kesimpulan tunggal tentang postmodernisme dan tatanan masyarakat yang digambarkannya. Derrida menekankan penolakan terhadap kebenaran tunggal; dan dalil-dalil umum ilmu pengetahuan dengan cara mendekonstruksi bangunan pemikiran modernisme. Foucault menyoroti banyak aspek tentang masyarakat postmodern. Ia menolak pandangan tentang kekuasaan yang sentralistik. Ia berpendapat kekuasaan tidak berada di tangan orang yang berkuasa, tetapi menyebar dan ada di mana-mana. Kekuasaan melekat dalam ilmu pengetahuan. Sementara itu Baudrillard menyoroti perkembangan budaya dan perilaku ekonomi dari masyarakat modern kapitalis yang lebih mengutamakan nilai produksi dan nilai guna ke masyarakat postmodernisme yang lebih menekankan nilai simbol. Seperti halnya Derrida, Lyotard menolak kebenaran tunggal ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa sekarang ini, tidak mungkin ada penjelasan tunggal atau ganda tentang ilmu pengetahuan. Legitimasi kebenaran ilmu pengetahuan tidak dapat bersandar pada satu narasi besar sehingga menurut Lyotard ilmu pengetahuan saat sekarang ini lebih baik dipahami dalam pengertian teori permainan bahasa.
Pemikiran postmodernisme akan terus bebas berkembang. Ia akan mengalir dalam diskusi yang tanpa henti.

11.  Teori Feminisme Kontemporer
Teori Sosiologi Gender
Konsep sex (jenis kelamin) dan gender masih sering dipahami secara rancu dalam masyarakat. Konsep gender yang sebenarnya merupakan peran dan perilaku laki-laki dan perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering kali dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang tak dapat diubah. Hal tersebut menjadi masalah karena kekeliruan tersebut menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
Dalam membahas gender, sosiologi melihat dari teori makro (fungsional struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro (interaksionisme simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip konsensus dan keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap pembagian kerja antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang paling sesuai, agar dalam kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi. Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga, istri atau perempuan dalam posisi yang tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual, dan pemilikan properti. Janet Chafetz menganalisis bahwa perempuan menduduki posisi yang rendah dalam masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis kelamin. Sedangkan teori sistem dunia yang selama ini hanya memperhitungkan kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap telah mengurangi kontribusi perempuan di bidang produksi ekonomi karena mengabaikan pekerjaan perempuan dalam rumah tangga.
Dari teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik mengidentifikasi bahwa individu berusaha memelihara identitas gendernya di berbagai situasi serta memahami bagaimana arti menjadi perempuan atau laki-laki. Sementara itu, etnometodologi menganggap bahwa identitas gender individu diperoleh melalui interaksi dalam berbagai situasi. Dengan demikian, melalui budaya yang berbeda individu akan mengidentifikasi peran gendernya secara berbeda sesuai dengan situasi sosial.
Teori Feminisme Kontemporer
Masalah ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat telah menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Perbedaan sosial budaya yang melatarbelakangi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai tempat telah sejak lama diamati dan dianalisis menjadi teori-teori feminisme yang beragam. Teori ketidaksetaraan gender mencakup teori feminisme liberal dan feminisme Marxist.
Feminisme liberal memfokuskan perhatiannya pada ketidaksetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan. Diskriminasi gender berupa pemisahan domain privat dan publik, pengutamaan laki-laki dibanding perempuan, menurut feminis ini menyebabkan terbatasnya gerak perempuan sehingga peranan perempuan menjadi mengecil, sedangkan feminisme Marxist menganggap bahwa akar dari ketidaksetaraan perempuan adalah sistem kelas dalam masyarakat kapitalis. Perempuan tidak hanya mengalami ketidakadilan di antara kelas sosial, tetapi di dalam kelas sosialnya sendiri mereka merupakan subordinasi dari laki-laki.
Termasuk dalam teori penindasan gender adalah feminisme psikoanalis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis. Feminisme psikoanalitis berpandangan bahwa ketidakadilan yang dialami oleh perempuan adalah akibat dari sistem patriarki di mana maskulinitas dianggap lebih baik daripada femininitas. Sementara itu, feminisme radikal berpendapat sistem patriarki merupakan bentuk praktik kekerasan dan penindasan oleh laki-laki dan organisasi yang dikuasai laki-laki terhadap perempuan. Penindasan tersebut dalam bentuk kekerasan fisik dan non-fisik. Penindasan menurut feminisme radikal adalah akibat dari perbedaan biologis, dan basis dari subordinasi adalah institusi keluarga. Penindasan tersebut membentuk hubungan dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Pembentukan persaudaraan perempuan dan hubungan homoseksual adalah beberapa cara yang disarankan oleh feminis radikal untuk menghapuskan penindasan gender. Sedangkan feminisme sosialis menganggap bahwa penyebab penindasan perempuan adalah ketergantungan ekonomi perempuan terhadap laki-laki. Dalam keluarga, suami tidak hanya menjadi pemilik properti keluarga, tetapi juga sebagai pemilik istri. Istri tidak lebih dari properti. Kedudukan perempuan yang inferior terhadap kedudukan laki-laki ini terkait dan menentukan kedudukan perempuan dalam sistem kelas keluarga dan kapitalisme.

Teori feminisme lain yang telah dikembangkan antara lain adalah feminisme postmodern, feminisme multikultural/global, serta ekofeminisme. Ekofeminisme memi-liki pandangan yang berbeda dengan aliran feminisme lain, di mana teori ini justru mengajak manusia untuk mengembalikan dan menambah kualitas feminin pada kegiatan manusia dalam pembangunan. Tujuan ekofeminisme ini adalah menumbuhkan rasa cinta kelembutan, keibuan, dan pengasuhan kepada dunia, yang dapat mengurangi kerusakan lingkungan akibat kegiatan manusia yang terlalu maskulin.

Read more...