PEMBENTUKAN TEORI SOSIOLOGI MODERN
>> Tuesday, 4 March 2014
Pendahuluan Sosiologi Modern
Sosiologi adalah
suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam masyarakat. Dalam
masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok, organisasi, aturan-aturan dan
lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu merupakan suatu kebulatan yang utuh. Dalam
hal ini sosiologi ingin mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik
yang menyangkut latar belakang, permasalahan dan sebab musababnya. Untuk
mengetahui kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori. Lahirnya sosiologi
dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa Barat, baik yang
menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV, perubahan sosial politik,
reformasi Martin Luther, meningkatnya individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan
modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri
maupun Revolusi Perancis.
Sosiologi
sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan senantiasa
berkembang terus, terutama apabila masyarakat menghadapi ancaman terhadap
pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis yang demikian cepat atau
lambat akan melahirkan pemikiran sosiologis. Bertolak dari kenyataan
yang demikian dapatlah dikatakan bahwa pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi
sejak awal XVIII berkenaan dengan adanya industrialisasi, urbanisasi,
kapitalisme dan sosialisme yang menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.
Paradigma
Sosiologi dan Teori Pendekatannya
Istilah
paradigma kali pertama diintrodusir oleh Thomas S. Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolution”
tahun 1962 yang diterjemahkan “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains” tahun
1989. Kuhn tdk menjelaskan makna paradigma dengan jelas, baru oleh Mastermann
konsep paradigma Kuhn diklasifikasi menjadi tiga hal, yaitu: Pertama, Paradigma metafisik (metaphisical paradigm). Paradigma
Metafisik memerankan fungsi, menunjuk kepada sesuatu yang pusat perhatian
komunitas ilmuwan, menunjuk kepada komunitas ilmuwan yang memusatkan perhatian
untuk menemukan sesuatu yang ada, serta menunjuk pada ilmuwan yang berharap
menemukan sesuatu yang sungguh-sungguh ada. Kedua, Paradigma sosiologis (sociological paradigm), yakni paradigma
sosiologi yang mengacu pada pengertian keragaman fenomena yang menjadi kajian
ilmuwan yang hasilnya diterima oleh ilmuwan dibidangnya. Ketiga, Paradigma
konstruk (construct paradigm).
Paradigma konstruk ialah konsep yang paling sempit berkaitan dengan ilmu
tertentu.
Oleh karena
ketidakjelasan Kuhn dalam menjelaskan Paradigma, maka Robert Friedrichs kali
pertama menjelaskan paradigma sebagai pandangan mendasar dari satu disiplin
ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari “a fundamental image a dicipline has of its subject matter”. Secara umum, paradigma
adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar, prinsipiil, radikal) tentang
sesuatu yang menjadi pokok permasalahan dalam ilmu pengetahuan. Kemudian,
bertolak dari suatu paradigma atau asumsi dasar tertentu seorang yang akan
menyelesaikan permasalahan dalam ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan,
baik yang menyangkut pokok permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh
jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menurut George
Ritzer paradigma dalam sosiologi, yaitu :
a. Paradigma
fakta sosial, menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat mempengaruhi
individu dan dikembangkan oleh Emile Durkheim dalam “The Rules of Sociological Method” tahun 1895 dan “Suicide” tahun 1897. Ia mengkritik
sosiologi yang didominasi Auguste Comte dengan positivismenya bahwa sosiologi
dikaji berdasarkan pemikiran, bukan fakta lapangan. Durkheim menempatkan fakta
sosial sebagai sasaran kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research) bukan dengan penalaran
murni. Teori-teori dlm paradigma ini adalah: teori Fungsional Struktural, teori
Konflik, teori Sosiologi Makro, dan teori Sistem.Yang menjadi kajian paradigma
Fakta Sosial adalah: Struktur Sosial dan Pranata Sosial. Struktur sosial
mencakup jaringan hubungan sosial dimana interaksi terjadi & terorganisir
serta melalui mana posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sedangkan
pranata sosial mencakup norma & pola nilai Empat Proposisi yg mendukung
kelompok sbg fakta sosial
1.
Kelompok dilihat melalui
sekumpulan individu.
2.
Kelompok tersusun atas
beberapa individu.
3.
Fenomena sosial hanya
memiliki realitas dlm individu, dan
4.
Tujuan mempelajari
kelompok utk membantu menerangkan/meramalkan tindakan individu.
b. Paradigma
definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam masyarakat
mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini sekalipun
struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu, akan tetapi yang
berperanan tetap individu dan pemikirannya. Tokohnya adalah Max Weber yg
menganalisis tindakan social (social
action). Tindakan sosial adalah tindakan individu terhadap orang lain yang
memiliki makna untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kata kuncinya “tindakan
yang penuh arti”. Weber tidak memisahkan antara struktur dan pranata sosial
karena keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang penuh makna. Untuk
mengkajinya digunakan metode “analisis pemahaman” (interpretative understanding). Teori-teori yg tergabung dalam
paradigma ini adalah Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, Etnometodologi,
dan Dramaturgi.
c. Paradigma
perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu yang
terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal ini
interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat perubahan
perilaku individu yang bersangkutan. Tokohnya B.F. Skinner. Obyek Sosiologi
adalah perilaku manusia yg tampak serta kemungkinan perulangannya (hubungan
antar individu & lingkungannya). Perilaku sosial (X) tindakan sosial.
Perilaku sosial: mekanisme stimulus dan respon, tindakan sosial: aktor hanya
penanggap pasif dari stimulus yang datang padanya. Teori yang tergabung yakni
Sosiologi Behavioral dengan konsep “reinforcement”
dan proposisi “reward and punishment”, serta teori Exchange dengan asumsi selalu
ada “take and give” dalam dunia
sosial.
Aktor (Perilaku Sosial): hanya
sekedar memproduksi kelakuan.
Agen (Definisi Sosial):
mereproduksi & memproduksi tindakan
Paradigma dalam sosiologi
sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan adanya berbagai macam teori
dan metode dalam pendekatannya.
Pembahasan
Teori Sosiologi Modern
1. Teori
Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons
Talcott
Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan
pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan
prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh adanya keteraturan masyarakat
yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile
Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Hal tersebut di ataslah yang
menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott Parsons bersifat kompleks.
Asumsi
dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat terintegrasi
atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga
masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional
terintegrasi dalam suatu keseimbangan. Dengan demikian masyarakat adalah
merupakan kumpulan sistem-sistem sosial yang satu sama lain berhubungan dan
saling ketergantungan.
Teori
Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran dengan
mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan
struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan keseimbangan
dalam masyarakat tersebut dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons.
Tindakan Sosial dan
Orientasi Subjektif
Teori Fungsionalisme Struktural yang
dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi oleh para sosiolog Eropa menyebabkan
teorinya itu bersifat empiris, positivistis dan ideal. Pandangannya tentang
tindakan manusia itu bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu
didasarkan pada dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih sarana
(alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh lingkungan atau
kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut dikendalikan oleh nilai dan
norma.
Prinsip-prinsip pemikiran Talcott
Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu diarahkan pada tujuan. Di
samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu kondisi yang unsurnya sudah pasti,
sedang unsur-unsur lainnya digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain
itu, secara normatif tindakan tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat
dan tujuan. Atau dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang
sebagai kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa
alat, tujuan, situasi, dan norma. Dengan demikian, dalam tindakan tersebut
dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat yang ada akan
mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga individu itu dipengaruhi
oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih tujuan yang akan dicapai, dengan
bimbingan nilai dan ide serta norma. Perlu diketahui bahwa selain hal-hal
tersebut di atas, tindakan individu manusia itu juga ditentukan oleh orientasi
subjektifnya, yaitu berupa orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu
diketahui pula bahwa tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai
macam karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Analisis Struktural
Fungsional dan Diferensiasi Struktural
Sebagaimana telah diuraikan di muka,
bahwa Teori Fungsionalisme Struktural beranggapan bahwa masyarakat itu
merupakan sistem yang secara fungsional terintegrasi ke dalam bentuk
keseimbangan. Menurut Talcott Parsons dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan
fungsional dalam sistem di masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut
struktur maupun tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian
dengan lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan
fungsional.
Perlu diketahui ada fungsi-fungsi
tertentu yang harus dipenuhi agar ada kelestarian sistem, yaitu adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi dan keadaan latent. Empat persyaratan fungsional
yang mendasar tersebut berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal
tersebut di atas, empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap
dasar yang hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan
evolusioner.
Perlu diketahui pula bahwa sekalipun
sejak semula Talcott Parsons ingin membangun suatu teori yang besar, akan
tetapi akhirnya mengarah pada suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan
niatnya. Hal tersebut karena adanya penemuan-penemuan mengenai
hubungan-hubungan dan hal-hal baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku
pergeseran prinsip keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada
sibernetika teori sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa
perkembangan masyarakat itu melewati empat proses perubahan struktural, yaitu
pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons
menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk menganalisis
proses perubahan.
Perlu diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons
telah berhasil membangun suatu teori yang besar untuk mengadakan pendekatan
dalam masyarakat, akan tetapi ia tidak luput dari serangkaian kritikan, baik
dari mantan muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog lain, yaitu George
Homans, Williams Jr., dan Alvin Gouldner, sebagaimana telah dikemukakan dalam
uraian di muka.
2. Teori
Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton
Strategi Dasar Analisis
Strukturalisme Fungsional
Teori Fungsionalisme Struktural yang
dikemukakan oleh Robert K. Merton ternyata memiliki perbedaan apabila
dibandingkan dengan pemikiran pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons.
Apabila Talcott Parsons dalam teorinya lebih menekankan pada orientasi
subjektif individu dalam perilaku maka Robert K. Merton menitikberatkan pada
konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku.
Menurut Robert K. Merton
konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu ada yang
mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest), akan tetapi ada
pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku itu yang
tidak dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh karena itu, menurut pendapatnya
konsekuensi-konsekuensi objek dari individu dalam perilaku tersebut ada yang
bersifat fungsional dan ada pula yang bersifat disfungsional.
Anggapan yang demikian itu merupakan
ciri khas yang membedakan antara pendekatan Robert K. Merton dengan pendekatan
fungsionalisme struktural yang lainnya. perlu diketahui bahwa Teori Fungsional
Taraf Menengah yang ia cetuskan tersebut, merupakan pendekatan yang sesuai
untuk meneliti hal-hal yang bersifat kecil atau khusus dan bersifat empiris
dalam sosiologi.
Disfungsi dan Perubahan
Sosial
Menurut Robert K. Merton dinyatakan
bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku dapat
bersifat fungsional dan dapat pula bersifat disfungsional. Konsekuensi objektif
dari individu dalam perilaku mampu mengarah pada integrasi dan keseimbangan,
sedangkan konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat
disfungsional akan memperlemah integrasi.
Konsekuensi-konsekuensi objektif yang
bersifat disfungsional akan menyebabkan timbulnya ketegangan atau pertentangan
dalam sistem sosial. Ketegangan tersebut muncul akibat adanya saling berhadapan
antara konsekuensi yang bersifat disfungsional. Dengan adanya ketegangan
tersebut maka akan mengundang munculnya struktur dari yang bersifat alternatif
sebagai substitusi untuk menetralisasi ketegangan.
Perlu diketahui bahwa adanya
ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan adanya struktur-struktur baru tersebut
akan berarti bahwa konsekuensi objektif yang bersifat disfungsional itu akan
mengakibatkan adanya perubahan-perubahan sosial. Di samping itu disfungsi juga
akan menyebabkan timbulnya anomie dan masalah sosial. Kenyataan tersebut juga
mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru, yang pada hakikatnya
menunjukkan adanya perubahan sosial yang mengarah pada perbaikan tatanan dalam
masyarakat.
Kelompok Referensi
(Reference Group)
Teori Fungsionalisme Robert K. Merton
yang menekankan pada konsekuensi objektif dari individu dalam berperilaku.
Keharusan adanya konsekuensi objektif baik fungsional maupun disfungsional dan
harus adanya konsep-konsep alternatif fungsional dalam pelaksanaan analisisnya,
tepat apabila diterapkan pada masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan di
antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu, Robert K. Merton
mengemukakan suatu Teori Kelompok Referensi yang digunakan sebagai penilaian
dirinya dan pembanding serta menjadi bimbingan moral. Teori Kelompok Referensi
(Reference Group Theory) yang terdiri dari Kelompok Referensi Normatif,
Kelompok Referensi Komparatif dan ada bentuk lain, yaitu kelompok keanggotaan
(Membership Reference Group). Kelompok Referensi Normatif, yaitu suatu kelompok
yang menempatkan individu-individu mengambil standar normatif dan standar
moral, sedangkan Kelompok Referensi Komparatif, yaitu kelompok yang memberikan
kepada individu-individu suatu kerangka berpikir untuk menilai posisi sosialnya
dalam hubungannya dengan posisi sosial orang lain. Sementara Kelompok
Keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok yang menempatkan bahwa individu
itu sebagai anggotanya.
3. Teori
Konflik Ralf Dahrendorf
Pemikiran tentang
Otoritas dan Konflik Sosial
Teori Konflik Ralf Dahrendorf tidak
bermaksud untuk mengganti teori konsensus. Dasar Teori Konflik Dahrendorf
adalah penolakan dan penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl
Marx yang menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem
kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut. Pendapat
yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20 telah terjadi
pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi. Kecuali
itu,, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya suatu pertanda bahwa para
pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang dianggap sama dan bersifat tunggal
karena pada masa itu telah lahir para pekerja dengan status yang jelas dan
berbeda-beda, dalam arti ada kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok
kerja tingkat bawah. Hal yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar
pemikiran Karl Marx.
Selain itu, Karl Marx sama sekali tidak
membayangkan bahwa dalam perkembangan selanjutnya akan lahir serikat buruh
dengan segenap mobilitas sosialnya, yang mampu meniadakan revolusi buruh. Perlu
diketahui bahwa dalam suatu perusahaan ada pimpinan dan ada para pekerja yang
pada suatu saat dapat saja terjadi konflik. Akan tetapi dengan adanya pengurus
dari organisasi tenaga kerja tersebut untuk mengadakan perundingan dengan
pimpinan perusahaan maka konflik dapat dihindari.
Pendekatan Ralf Dahrendorf berlandaskan
pada anggapan yang menyatakan bahwa semua sistem sosial itu dikoordinasi secara
imperatif. Dalam hal ini, koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas
merupakan sesuatu yang sangat esensial sebagai suatu yang mendasari semua
organisasi sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial
mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang menyangkut pihak
atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas. Dengan demikian maka
tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara pihak yang berkuasa dengan
pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai kepentingan yang berbeda dan bahkan
mungkin bertentangan. Selanjutnya, perlu diketahui bahwa bertolak dari
pengertian bahwa menurut Ralf Dahrendorf kepentingan kelas objektif dibagi atas
adanya kepentingan manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem
sosial yang harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama,
yang disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan kelompok
yang dikuasai.
Intensitas dan
Kekerasan
Teori Konflik yang dikemukakan oleh Ralf
Dahrendorf juga membahas tentang intensitas bagi individu atau kelompok yang
terlibat konflik. Dalam hal ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran
energi dan tingkat keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang
terlibat dalam konflik. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas
konflik, yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas.
Selain itu Teori Konflik Ralf Dahrendorf
juga membicarakan tentang kekerasan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Konsep tentang kekerasan, yaitu menunjuk pada alat yang digunakan oleh
pihak-pihak yang saling bertentangan untuk mengejar kepentingannya. Tingkat
kekerasan mempunyai berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara
yang halus sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat kejasmanian.
Perlu diketahui bahwa menurut Teori
Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa salah satu faktor yang sangat penting
yang dapat mempengaruhi tingkat kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat
yang menyatakan bahwa konflik itu secara tegas diterima dan diatur. Pada
hakikatnya konflik tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka
merupakan sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang
ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya
penutupan itu secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan konflik yang
hebat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran-saluran
yang berfungsi membicarakan penyelesaian konflik.
Pengertian Konflik
Konflik dapat mengakibatkan adanya
perubahan dalam struktur relasi-relasi sosial, apabila kondisi-kondisi tertentu
telah dipenuhi. Teori Konflik Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa konsekuensi atau
fungsi konflik, yaitu dapat mengakibatkan adanya perubahan sosial, khusus yang
berkaitan dengan struktur otoritas. Ada tiga tipe perubahan struktur, yaitu (1)
perubahan keseluruhan personil dalam posisi dominasi; (2) perubahan sebagian
personil dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya kepentingan-kepentingan
kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang mendominasi.
Selain itu menurut Teori Konflik Ralf
Dahrendorf dinyatakan bahwa perubahan struktural itu dapat digolongkan
berdasarkan tingkat ekstremitasnya dan berdasarkan tingkat mendadak atau
tidaknya. Dalam hal ini Ralf Dahrendorf mengakui bahwa teorinya yang menekankan
pada konflik dan perubahan sosial merupakan perspektif kenyataan sosial yang
berat sebelah. Hal tersebut karena meskipun Teori Fungsionalisme Struktural dan
Teori Konflik dianggap oleh Ralf Dahrendorf sebagai perspektif valid dalam
menghampiri kenyataan sosial, akan tetapi hanya mencakup sebagian saja dari
kenyataan sosial yang seharusnya. Kedua teori tersebut tidak lengkap apabila
digunakan secara terpisah, dan oleh karena itu harus digunakan secara
bersama-sama, agar dapat memperoleh gambaran kenyataan sosial yang lengkap.
4. Teori
Konflik Lewis A. Coser
Konflik dan Solidaritas
Semula Lewis A. Coser menitikberatkan
perhatiannya pada pendekatan fungsionalisme struktural dan mengabaikan konflik.
Menurut pendapatnya bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan hasil
kesepakatan, akan tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya proses-proses
yang tidak merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis A. Coser
ingin membangun suatu teori yang didasarkan pada pemikiran George Simmel.
Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan mengenai
nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan status, kuasa dan
sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak mencukupi. Konflik dapat
terjadi antarindividu, antarkelompok dan antarindividu dengan kelompok. Baginya
konflik dengan luar (out group) dapat menyebabkan mantapnya batas-batas
struktural, akan tetapi di lain pihak konflik dengan luar (out group) akan
dapat memperkuat integrasi dalam kelompok yang bersangkutan.
Konflik antara suatu kelompok dengan
kelompok lain dapat menyebabkan solidaritas anggota kelompok dan integrasi
meningkat, dan berusaha agar anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi,
tidaklah demikian halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh
kelompok lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan
adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu
kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat menyebabkan
tumbuh dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota kelompok.
Konflik dan Solidaritas
Kelompok
Menurut Lewis A. Coser dinyatakan bahwa
konflik internal menguntungkan kelompok secara positif. la menyadari bahwa
dalam relasi-relasi sosial terkandung antagonisme, ketegangan atau
perasaan-perasaan negatif termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam, (in
group) yang di dalamnya terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial.
Perlu diketahui bahwa semakin dekat
hubungan akan semakin sulit rasa permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi
semakin lama perasaan ditekan maka mengungkapkannya untuk mempertahankan
hubungan itu sendiri. Mengapa demikian karena dalam suatu hubungan yang intim
keseluruhan kepribadian sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik
meledak, mungkin akan sangat keras.
Konflik akan senantiasa ada sejauh
masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya. Adapun yang menyebabkan timbulnya
konflik, yaitu karena adanya perbedaan-perbedaan, apakah itu perbedaan
kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping itu,
konflik juga akan terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group)
terdapat perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota
kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.
Perbedaan-perbedaan antara para anggota
kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula disebabkan oleh adanya perbedaan
pengertian mengenai konflik karena konflik itu bersifat negatif dan merusak
integrasi. Akan tetapi, ada pula pengertian dari anggota kelompok dalam (in
group) bahwa karena adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka konflik akan
tetap ada. Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam
suatu konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang
lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat konflik sama
sekali.
Konsekuensi Konflik
Konflik merupakan suatu fenomena
kemasyarakatan yang senantiasa ada dalam kehidupan bersama. Sebenarnya konflik
tidak usah dilenyapkan, akan tetapi perlu dikendalikan konflik akan senantiasa
ada di masyarakat, hal tersebut karena dalam masyarakat itu terdapat otoritas.
Hal tersebut dikandung maksud bahwa apabila di suatu pihak bertambah otoritasnya
maka di lain pihak akan berkurang otoritasnya. Selain itu juga karena adanya
perbedaan kepentingan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Konflik dapat dikendalikan apabila
kelompok yang terlibat dalam konflik dapat menyadari adanya konflik, dan perlu
dilaksanakannya prinsip-prinsip keadilan. Di samping itu juga harus
terorganisasi secara baik terutama yang menyangkut semua kekuatan sosial yang
bertentangan. Dalam hal ini, apabila upaya pengendalian konflik itu tidak
dilakukan maka konflik yang tertekan yang tidak tampak di permukaan, dapat
meledak sewaktu-waktu dan merupakan tindakan kekerasan. Konflik yang tertekan
dapat menyebabkan putusnya hubungan, dan apabila emosionalnya meninggi maka
putusnya hubungan tersebut dapat meledak secara tiba-tiba. Berkenaan dengan hal
tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran alternatif sehingga rasa dan sikap
pertentangan dapat dikemukakan dengan tidak merusak solidaritas.
5. Teori
Pertukaran Sosial George C. Homans dan Teori Pertukaran Perilaku Peter M. Blau
Pendekatan Perilaku
Semula George C. Homans tidak menaruh
perhatian masalah pertukaran sosial dalam mengadakan pendekatan terhadap
masyarakat karena pada awalnya ia mengarahkan perhatian pada pendekatan
fungsionalisme struktural. Pendekatan fungsionalisme struktural ternyata mempunyai
arti yang sangat penting karena mampu memberi masukan terhadap teori sosiologi,
terutama dalam hubungannya dengan struktur, proses dan fungsi kelompok
sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul The Human Group. Menurut
pendapatnya analisis fungsionalisme struktural mempunyai manfaat untuk
menemukan dan memberikan uraian, akan tetapi pendekatan tersebut tidak mampu
menjelaskan. Selanjutnya, berhubung pendekatan fungsionalisme struktural itu
tidak dapat menjelaskan berbagai macam hal maka menurut pendapatnya dianggap
sebagai suatu kegagalan.
Berhubung pendekatan fungsionalisme
struktural dianggap gagal dalam memberikan fenomena-fenomena baru yang muncul
dalam interaksi sosial di masyarakat maka ia berusaha menyempurnakannya dengan
prinsip-prinsip pertukaran sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka ia
tinggalkan pendekatan fungsionalisme struktural dan selanjutnya menyatakan
tentang pentingnya pendekatan psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala sosial.
Menurut pendapatnya dengan psikologi dapat dijelaskan mengenai faktor yang
menghubungkan sebab dan akibat. Dalam hal yang menghubungkan antara sebab dan
akibat hanya dapat dijelaskan oleh proposisi psikologi melalui pendekatan
perilaku. Namun, pada mulanya ia juga menggunakan pendekatan ilmu ekonomi
karena diasumsikan bahwa orang yang berperilaku itu memperoleh ganjaran dan
menghindari hukuman. Akan tetapi, ia juga berpendapat bahwa perilaku orang itu
tidak semata-mata alasan ekonomi, melainkan juga karena adanya rasa kepuasan,
harga diri dan persahabatan.
Perlu diketahui bahwa George C. Homans
menyatakan bahwa psikologi perilaku sebagaimana diajarkan oleh B.F. Skinner
dapat menjelaskan pertukaran sosial. Adapun proposisi yang mampu memberikan
penjelasan pertukaran sosial, yaitu (1) proposisi sukses, artinya semakin
perilaku itu memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan perilaku tersebut;
(2) proposisi stimulus, artinya apabila stimulus menyebabkan adanya ganjaran
maka pada kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan apabila ada stimulus
yang serupa; (3) proposisi nilai, artinya semakin tinggi nilai suatu tindakan
maka semakin senang orang melaksanakan; (4) proposisi deprivasi satiasi,
artinya semakin orang memperoleh ganjaran tertentu maka semakin berkurang nilai
itu bagai orang yang bersangkutan; (5) proposisi restu-agresi, artinya ganjaran
yang tidak seperti yang diharapkan maka akan menyebabkan marah dan kecewa serta
dapat menyebabkan perilaku yang agresif.
Pendekatan Pertukaran
Perilaku
George C. Homans dan Peter M. Blau
adalah tokoh dari Teori Pertukaran sosial. Namun, tidak seperti George C.
Homans yang membatasi analisisnya pada jenjang sosiologi mikro, Peter M. Blau
berupaya menjembatani pada jenjang sosiologi makro dan mikro dari jenjang
analisis sosiologi. Perlu diketahui bahwa baik C. Homans maupun Peter M. Blau
menilai analisisnya pada proses interaksi, namun Peter M. Blau melanjutkan
analisisnya dengan membahas struktur yang lebih besar. Dalam hal ini, Peter M.
Blau menunjukkan bahwa dalam proses pertukaran dasar menghadirkan fenomena yang
berupa struktur sosial yang lebih kompleks. Dalam teori pertukaran sosial
menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang berupa ganjaran
materiil, misal yang berupa barang maupun spiritual yang berupa pujian.
Selanjutnya untuk terjadinya pertukaran
sosial harus ada persyaratan yang harus dipenuhi. Syarat itu adalah (1) suatu
perilaku atau tindakan harus berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat
tercapai lewat interaksi dengan orang lain; (2) suatu perilaku atau tindakan
harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang
dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau penghargaan
intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan lain-lainnya atau
penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda tertentu, uang dan jasa.
Harapan-harapan yang akan diperoleh
dalam pertukaran sosial menurut Peter M. Blau, yaitu (a) ganjaran atau
penghargaan; (b) lahirnya diferensiasi kekuasaan; (c) kekuasaan dalam kelompok;
dan (d) keabsahan kekuasaan dalam kelompok. Dapat
dikemukakan bahwa interaksi sosial dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu
didasarkan pada ganjaran atau penghargaan yang bersifat intrinsik dan
ekstrinsik. Peter M. Blau berpendapat bahwa (1) individu-individu dalam
kelompok-kelompok yang sederhana (mikro) satu sama lain dalam pertukaran sosial
mempunyai keinginan untuk memperoleh ganjaran ataupun penghargaan; dan (2)
tidak semua transaksi sosial bersifat simetris yang didasarkan pada pertukaran
sosial yang seimbang.
Pertukaran sosial yang tidak seimbang
akan menyebabkan adanya perbedaan dan diferensiasi kekuasaan karena dalam
pertukaran tersebut ada pihak yang merasa lebih berkuasa dan mempunyai
kemampuan menekan dan di lain pihak ada yang dikuasai serta merasa ditekan.
Kekuasaan menurut Peter M. Blau adalah kemampuan orang atau kelompok untuk
memaksakan kehendaknya pada pihak lain.
Adapun strategi atau cara yang dapat
digunakan untuk mendapatkan kekuasaan terhadap orang lain yaitu memberikan
sebanyak mungkin kepada pihak lain yang membutuhkan, sebagai suatu upaya
menunjukkan statusnya yang lebih tinggi dan berkuasa, agar mereka yang dikuasai
merasa berutang budi dan mempunyai ketergantungan.
Dalam pertukaran sosial menunjukkan
adanya gejala munculnya kekuasaan yang terjadi pula dalam suatu kelompok. Dalam
kelompok akan terjadi persaingan antarindividu, dan tiap individu akan berusaha
memperoleh kesan lebih menarik jika dibanding dengan yang lain. Agar orang itu
terkesan lebih menarik dari orang lain syaratnya dapat menarik perhatian orang
lain. Dalam persaingan itu nantinya akan nampak adanya pihak atau orang yang
dapat menarik perhatian orang-orang yang dalam kelompok yang bersangkutan.
Kelebihan orang yang bersangkutan dapat menarik perhatian orang lain kemungkinan
karena kepandaiannya, kejujurannya, kesopanannya ataupun kebijaksanaannya. Dari
tiap-tiap kelompok akan ada yang menonjol dan yang menonjol itu akhirnya akan
muncul satu orang yang paling menarik perhatian orang dalam kelompok-kelompok
tersebut maka muncullah kekuasaan, dalam arti ada pemimpin dan ada yang
dipimpin. Dalam hal ini, pemimpin (pemegang kekuasaan) akan memperoleh
penghargaan sebagai akibat tanggung jawab yang dapat dipenuhinya. Sementara
orang yang dipimpin akan mendapat penghargaan karena ketaatannya, baik karena
tugas yang diselesaikan maupun kesediaannya mematuhi peraturan-peraturan yang
ada.
Perintah yang dipatuhi adalah perintah
yang diberikan oleh pemimpin yang sah. Agar perintah dipatuhi maka pemimpin
(pemegang kekuasaan) harus mempunyai wewenang. Wewenang yang dimiliki oleh
pemegang kekuasaan digunakan untuk merekrut anggota dalam kelompok.
6. Interaksionisme
Simbolik William James dan Charles Horton Cooley serta John Dewey
Interaksionisme
Simbolik menurut William James
Teori interaksionisme yang dikemukakan
oleh William James dilandasi oleh aliran Pragmatisme. Ia berpendapat bahwa yang
benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibatnya yang
bermanfaat secara praktis. Adapun mengenai pandangan William James dapat
dirangkum dalam suatu uraian sebagai, berikut.
Manusia dapat memperoleh sendiri
sebagian apa yang diperlukan oleh pengalaman kita yang sesuai dengan yang
dikehendaki karena sebagai bagian dari dunia adalah hasil dari perbuatan
manusia itu sendiri. Agama
merupakan suatu kepercayaan yang mampu memberikan kepuasan rohani, rasa aman,
damai, dan rasa kasih sayang terhadap sesama. Kebenaran
gagasan-gagasan dan ucapan-ucapan tidaklah berada dalam kesesuaian antara
gagasan-gagasan dan fakta-fakta yang dapat ditemukan secara objektif melainkan
dalam kegunaan yang dimiliki gagasan-gagasan tersebut bagi tindakan; Manusia mempunyai
naluri-naluri meskipun naluri tersebut peranannya kurang penting. Adapun yang
dianggap penting adalah kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan dalam interaksi
dengan lingkungannya. Dalam
interaksi, manusia mengembangkan suatu "diri", dan tidak hanya
terdapat satu diri saja melainkan lebih dan satu diri, yang dibedakan menjadi
diri materiil dan diri sosial yang diberikan oleh individu-individu dan
kelompok-kelompok yang terus berinteraksi dengan seseorang. Perlu diketahui bahwa
William James terkenal karena meneruskan dan mengembangkan konsep dan (self).
Selain itu, ia juga berpendapat, bahwa perasaan seseorang mengenai dirinya
sendiri seseorang muncul dari interaksinya dengan orang lain.
Interaksionisme menurut
Charles Horton Cooley
Menurut Charles Horton Cooley hidup ini
tidak ada perbedaan secara biologis antara manusia satu dengan yang lain.
Individu dengan masyarakat terjalin suatu hubungan yang organis sehingga antara
individu dan masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan antara individu dan
masyarakat ada saling ketergantungan secara organis.
Konsep diri menurut Charles Horton
Cooley disebut looking glass self karena dalam setiap interaksi sosial,
seseorang yang terlibat merupakan cerminan dan yang disatukan dalam identitas
orang itu sendiri. Analisisnya mengenai pertumbuhan sosial individu, ia
mengembangkan "diri sosial" menurut William James. Dalam looking
glass self ada tiga unsur yang dapat dibedakan, yaitu (1) bayangan mengenai
orang-orang lain melihat kita; (2) bayangan mengenai pendapat yang dipunyai
orang tentang kita, dan (3) rasa diri yang dapat berarti positif atau negatif.
Tingkah laku orang seolah-olah merupakan
cermin bagi imajinasi pribadi tertentu yang mempunyai tiga elemen, yaitu (1)
imajinasi tentang bagaimana seseorang tampil; (2) imajinasi tentang bagaimana
orang lain menilai terhadap penampilan itu; dan (3) reaksi-reaksi emosional
terhadap penilaian orang lain.
Menurut Charles Horton Cooley konsep
diri dibentuk oleh apa yang dinamakan kelompok primer. Dalam kelompok ini
terdapat hubungan yang bersifat muka berhadapan dengan muka atau
"wawanmuka" dan di sinilah terbentuknya watak manusia. Hubungan
antara anggota sangat erat. Dalam anggota saling membaur sehingga tujuan yang
akan dicapai akan ada kesamaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan adanya
hubungan yang mesra, yaitu (1) adanya rasa solidaritas yang tinggi di antara
para anggatanya dan mereka merasa membutuhkan kepentingan yang sama; dan (2)
ada perasaan senasib dan sepenanggungan karena merasa mempunyai latar belakang
sejarah yang sama.
Syarat yang harus dimiliki kelompok
primer, yaitu (1) para anggota kelompok secara baik berdekatan antara yang satu
dengan yang lainnya; (2) jumlah anggota sedikit dan (3) hubungan antara anggota
kelompok bersifat langsung.
Menurut Samuel Stouffen fungsi kelompok
primer, yaitu membantu individu dalam perkembangan dan pendewasaannya mempunyai
sifat; (1) memberi bantuan motivasi dan landasan kuat kepada anggota; (2)
kelompok mempunyai nilai praktikal untuk individu; dan (3) loyalitas dapat
menyebabkan adanya hubungan erat dan bantuan dalam ikatan kelompok. Sementara
keuntungan bagi kelompok primer, yaitu (1) menunjang sifat-sifat baik manusia
dan menghindari sifat-sifat lemahnya, dan memberikan kekuatan batin serta
dorongan kepada individu; (2) mempertebal ketergantungan individu dari
kelompoknya; (3) menyerap individu dan kepribadiannya dalam kehidupan yang
bersifat kolektif; dan (4) memperlihatkan reaksi yang didasarkan pada perasaan.
Adapun jasa yang pokok dari kelompok primer, yaitu (1) memenuhi kepentingan
naluriah manusia; (2) memberi rasa aman kepadanya dan (3) memberi perlindungan
dan memungkinkan pembentukan kepribadian individu.
Interaksionisme
Simbolik menurut John Dewey
John Dewey adalah seorang pragmatisme ia
menyebut sistem pemikirannya dengan istilah instrumentalisme, yaitu suatu upaya
untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep,
pertimbangan-pertimbangan, pengumpulan-pengumpulan dalam bentuk-nya yang
bermacam-macam. Menurut John Dewey pemikiran manusia bertolak dari
pengalaman-pengalaman, dan penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau
terpimpin dari suatu keadaan yang tidak pasti menjadi keadaan yang pasti,
sedang makna yang terkandung dalam pikiran manusia itu senantiasa berada dalam
interaksi yang bersifat dialektik, baik dengan pengalaman maupun dengan
tindakan manusia.
Instrumentalisme menekankan pada
kemajuan, pandangan ke depan dan usaha-usaha manusia, serta menekankan pada
hasil-hasil atau akibat-akibat, dalam hal ini akibat tersebut sesuatu yang
memuaskan. Adapun yang disebut memuaskan adalah: sesuatu itu benar
apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia, sesuatu itu dianggap
benar apabila dapat dibuat eksperimen dan dapat dibuktikan kebenarannya, serta sesuatu itu benar apabila
membantu perjuangan makhluk untuk mempertahankan kebenarannya.
Pandangan John Dewey menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk sosial yang berarti semua tindakannya diberi cap
masyarakatnya. Sumbangan John Dewey terletak pada pandangannya bahwa pikiran (mind)
seseorang berkembang dalam rangka untuk menyesuaikan dan dengan lingkungan.
Pandangannya mengenai pendidikan ia menganggap ilmu mendidik tidak dapat
dipisahkan dengan filsafat. Menurutnya filsafat adalah teori umum dari
pendidikan. Maksud dan tujuan sekolah untuk mem-bangkitkan sikap hidup
demokratis dan mengembangkannya.
Dalam filsafat pendidikan dikenal aliran
progresivisme. Aliran ini menentang sistem pendidikan yang otoriter dan
absolut. Adapun ciri-ciri sistem pendidikan Progresivisme, yaitu: pendidikan harus
bersifat aktif dan dikaitkan dengan minat serta kepentingan anak; anak didik harus diberi
latihan-latihan untuk memecahkan persoalan-persoalan; pendidikan adalah
pembudayaan hidup itu sendiri dan bukan mempersiapkan untuk dapat hidup. Peranan
guru dalam pendidikan adalah membimbing dan memberi nasihat kepada anak didik
dalam memecahkan persoalan,
sekolah
merupakan tempat untuk melatih kerja sama dengan orang lain; pendidikan harus
bersifat demokratis.
Pendapatnya mengenai pengetahuan
dinyatakan bahwa fakta, dan arti dari sesuatu dapat dianggap baik atau tidak
baik dengan mencari sampai seberapa jauh watak operasionalnya. Pendapatnya
mengenai nilai berkembang secara kontinu karena adanya saling
pengaruh-mempengaruhi antara pengalaman baru di antara individu-individu dengan
nilai-nilai yang telah tersimpan dalam kebudayaan.
7. Teori
Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Teori Interaksionisme
Simbolik George Herbert Mead
Pemikiran-pernikiran Geroge Herbert Mead
mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin yang menyatakan bahwa organisme
terus-menerus terlibat dalam usaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
George Herbert Mead berpendapat bahwa manusia merupakan makhluk yang paling
rasional dan memiliki kesadaran akan dirinya. Di samping itu, George Herbert
Mead juga menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa dorongan biologis
memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan dorongan-dorongan
tersebut mempunyai sifat sosial. Di samping itu, George Herbert Mead juga sependapat
dengan Darwin yang menyatakan bahwa komunikasi adalah merupakan ekspresi dari
perasaan George Herbert Mead juga dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan John
Dewey. Gerakan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam
hubungannya dengan pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead
berpendapat bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri
secara sadar, dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya
daya pikir reflektif. Namun, ada kalanya terjadi tindakan manusia dalam
interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak melalui
pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada binatang.
Bahasa atau komunikasi melalui
simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang mempunyai arti khusus yang muncul
terhadap individu lain yang memiliki ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan
simbol-simbol akan terjadi pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya
secara sadar tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia
dapat membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon
tertentu dari pihak lain.
Tertib masyarakat didasarkan pada
komunikasi dan ini terjadi dengan menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi
itu mempunyai implikasi pada suatu proses pengambilan peran (role taking).
Komunikasi dengan dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang
pada hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.
Konsep diri menurut George Herbert Mead,
pada dasarnya terdiri dari jawaban individu atas pertanyaan "Siapa
Aku". Konsep diri terdiri dari kesadaran individu mengenai keterlibatannya
yang khusus dalam seperangkat hubungan sosial yang sedang berlangsung.
Kesadaran diri merupakan hasil dari suatu proses reflektif yang tidak
kelihatan, dan individu itu melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang
bersifat potensial dari titik pandang orang lain dengan siapa individu ini
berhubungan. Pendapat Goerge Herbert Mead tentang pikiran, menyatakan bahwa
pikiran mempunyai corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara
"aku" dengan "yang lain" di dalam aku. Untuk itu, dalam
pikiran saya memberi tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi
tanggapan kepada saya.
"Kedirian" (diri) diartikan
sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya sendiri dan konsepsi orang
lain terhadap dirinya Konsep tentang "diri" dinyatakan bahwa individu
adalah subjek yang berperilaku dengan demikian maka dalam "diri" itu
tidaklah semata-mata pada anggapan orang secara pasif mengenai reaksi-reaksi dan
definisi-definisi orang lain saja. Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang
bertindak ditunjukkan dengan konsep "I" dan diri sebagai objek
ditunjuk dengan konsep "me" dan Mead telah menyadari determinisme
soal ini. Ia bermaksud menetralisasi suatu keberatsebelahan dengan membedakan
di dalam "diri" antara dua unsur konstitutifis yang satu disebut
"me" atau "daku" yang lain "I" atau
"aku". Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other. Teori
George Herbert Mead tentang konsep diri yang terbentuk dari dua unsur, yaitu
"I" (aku) dan "me" (daku) itu sangat rumit dan sulit untuk
di pahami.
Perkembangan Konsep
Diri dan Pengambilan Peran serta Organisasi Sosial
Konsep diri George Herbert Mead
menekankan bahwa tahap-tahap yang dilalui anak-anak itu secara bertahap mereka
memperoleh konsep diri yang menghubungkan anak-anak dengan kehidupan sosial
yang sedang berlangsung dalam keluarga dan kelompok- kelompok yang lain.
Identitas anak akan selalu bertambah apabila anak sudah mulai bermain dengan
rekan-rekannya. Pengembangan identitas sosial harus dicapai lewat proses
belajar bermasyarakat dan proses ini disebut sosialisasi.
Menurut Soejono Dirdjosisworo
sosialisasi mengandung tiga pengertian dan menurut Kamanto Sunarto dinyatakan
bahwa salah satu teori peranan yang dikaitkan dengan sosialisasi, yaitu teori
yang dikemukakan oleh George Herbert Mead. George Herbert Mead menguraikan
mengenai tahap-tahap pengembangan diri (self) manusia, yaitu (1) tahap
play-stage (tahap bermain), (2) tahap game-stage (tahap permainan), dan (3)
generalized other (orang lain yang digeneralisasikan). Pada tahap ini seseorang
dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang lain dalam
masyarakat. Apabila seseorang anak berhasil mengambil peranan orang lain yang
digeneralisasikan itu maka "diri"nya akan dapat mencapai perkembangan
penuh, dan kelakuan individu dikendalikan orang lain yang digeneralisasikan
tersebut. Menurut George Herbert Mead sikap generalized other adalah sikap
masyarakat. Proses sosial mempengaruhi perilaku individu yang terlibat di
dalamnya dan menjalankan proses itu yaitu masyarakat mengontrol tingkah laku
anggotanya.
Teori Interaksionisme simbolik
beranggapan bahwa kehidupan bermasyarakat terbentuk lewat proses interaksi dan
komunikasi antarindividual dan antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol
yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Konsep George Herbert Mead
tentang masyarakat menekankan pada kekhususan model praxis manusia di mana
dengan menjembatani interaksi manusia dengan alam dan interaksi manusia dengan
manusia lain.
Menurut George Herbert Mead sesungguhnya
beberapa jenis aktivitas kerja sama telah menyebabkan adanya kedirian. Di sana
terdapat penghilangan keorganisasian di mana organisasi itu bekerja sama, dan
dengan jenis kerja sama ini maka isyarat individual akan menjadi stimulasi bagi
dirinya sendiri dengan bentuk yang sama sebagaimana bentuk stimulus yang lain
sehingga dengan demikian perbincangan isyarat dapat menghilangkan karakter
individual, dan kondisi semacam itu diduga dalam pengembangan kedirian (self).
Manusia secara aktif menentukan
lingkungannya, dan sementara dalam waktu yang bersamaan lingkungannya juga
menentukan manusia. Menurut George Herbert Mead yang lebih penting yaitu tidak
ada bentuk organisasi sosial yang perlu dianggap sebagai sesuatu yang final.
8. William
Issac Thomas dan Herbert Blumer
William Issac Thomas
William
Issac Thomas adalah tokoh Sosiologi Amerika yang terkenal sangat kontroversial,
tetapi juga dianggap sebagai orang yang mempunyai pemikiran cemerlang pada
masanya. Teoremanya yang sangat terkenal yang berbunyi 'if men define
situations as real, they are real in their consequences', dianggap menawarkan
pendekatan baru dalam memahami perilaku manusia dalam berinteraksi. Pendekatan
yang ditawarkan adalah dalam rangka keluar dari pendekatan positivistik dan
juga pendekatan yang sifatnya individualis dan subjektif ke dalam data-data
yang sifatnya sosiologis di mana interpretasinya bersifat objektif.
Karya Thomas sangat banyak, tetapi yang
dianggap monumental adalah The Polish Peasant in Europe and America yang berisi
penjelasan tentang masalah identitas etnik sehubungan dengan masalah perubahan
sosial. Karya ini juga dianggap sebagai perbaikan atas karya pertamanya yang
berjudul Sex and Society: Studies in the Social Psychology of Sex yang dianggap
banyak mengandung bias biologi maupun bias psikologi. Selanjutnya, tulisannya
yang berjudul The Unadjusted Girl yang membahas tentang 'definisi situasi'
dianggap memberi sumbangan yang sangat penting dalam bidang teori terhadap
perkembangan pendekatan interaksionisme simbolik.
Berdasarkan teori 'definisi situasi',
perilaku bukan hanya merupakan respon refleksif terhadap stimulus yang datang
dari lingkungan. Perilaku merupakan buah dari proses definisi subjektif aktor
terhadap stimulus tersebut. Di dalam proses definisi subjektif ini terkandung
tahap pengujian dan pertimbangan atas stimulis yang datang dan respons yang
akan dimunculkan.
Herbert Blumer
Herbert Blumer merupakan salah seorang
tokoh teori interaksionisme simbolik yang mewakili aliran pragmatis.
Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya George Herbert Mead, tetapi pada
akhirnya dia tetap mampu membangun teorinya sendiri. Dia termasuk orang yang
sangat aktif, tidak saja hanya dalam kegiatan-kegiatan akademik melainkan juga
dalam urusan-urusan administrasi di universitas tempatnya mengajar. Herbert
Blumer termasuk sangat produktif, terbukti dengan banyak hasil karyanya baik
yang berupa buku maupun artikel. Simbolic Interactionism: Perspective and
Method yang ditulisnya tahun 1969 sampai saat ini tetap menjadi acuan bagi
kajian-kajian interaksionisme simbolik. Dalam bukunya ini, Blumer menekankan
tentang pentingnya kesadaran aktor dan bagaimana aktor tersebut mendefinisikan
situasinya dan bertindak berdasarkan rasa kepemilikan terhadap dirinya sendiri.
Interaksionisme simbolik itu sendiri
menurut Blumer bertumpu pada tiga premis, yaitu sebagai berikut. Manusia bertindak
terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka; Makna itu diperoleh
dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain; Makna-makna tersebut
disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung. Dalam bentuk ketiga
premis tersebut sebenarnya terletak bangunan dari ide dasar pemikiran Blumer,
yaitu apa yang disebutnya 'root images'. Images ini merupakan dasar dari cara
pandang interaksionisme simbolik tentang tingkah laku manusia dan masyarakat
manusia, serta kerangka dari pembentukan teori interaksionisme dan
interpretasi.
9. Teori
Interaksionisme Simbolik Erving Goffman dan Peter L. Berger
Teori Interaksionisme
Simbolik Erving Goffman
Interaksionisme simbolik pada hakikatnya
(lebih) merupakan bagian dari psikologi sosial yang menyoroti interaksi
antar-individu dengan menggunakan simbol-simbol. Konsep interaksionisme
simbolik Erving Goffman juga menyoroti masalah-masalah yang berhubungan dengan
interaksi antara orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan
penafsiran-penafsiran di mana peranan antara the self dan the other mendapat
porsi perhatian yang sama dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme
simbolik Erving Goffman memang selalu mengacu kepada konsep-konsep 'impression
management', role distance, dan secondary adjustment di mana ketiganya bertumpu
pada konsep dan peranan the self dan the other tadi. Selain itu, Goffman juga
menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu interaksi atau hubungan tatap
muka yang menjadi dasar pendekatan mikrososiologi dalam analisis sosiologisnya.
Inti dari ajaran Goffman adalah apa yang
disebut dengan dramaturgy. Dramaturgy yang dimaksud Goffman adalah situasi
dramatik yang seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi yang
diberikan Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi yang dilakukan
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Goffman menggambarkan
peranan orang-orang yang berinteraksi dan hubungannya dengan realitas sosial
yang dihadapinya melalui panggung sandiwara dengan menggunakan skrip (jalan
cerita) yang telah ditentukan. Seperti layaknya sebuah panggung maka ada bagian
yang disebut frontstage (panggung bagian depan) dan backstage (panggung bagian
belakang) di mana keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan
dan fungsi backstage terhadap keberhasilan penampilan di frontstage,
kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar perhitungan benar-benar
bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua bagian tersebut. Di
samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai oleh beberapa ahli
sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan studi yang menyangkut
interaksi antara orang-orang yang menjadi kajian mereka.
Interaction Order adalah artikel
'penutup' dari seluruh karya-karya Goffman sebelum ia wafat tahun 1982. Dalam
tulisannya ini, Goffman secara konsisten tetap menyoroti masalah interaksi
tatap muka yang ordonya dimulai dari skala yang terkecil atau terendah menuju
skala terbesar atau tertinggi, yaitu yang terdiri dari persons, contact,
encounters, platform performances, dan celebrations. Meskipun hampir sebagian
besar analisis Goffman tidak menyertakan konsep penting interaksionisme
simbolik, yaitu self interaction, namun bagi Goffman, seorang aktor yang berada
'di atas panggung' itu harus mampu menafsirkan, memetakan, mengevaluasi, dan
mengambil tindakan sehingga atas dasar kemampuannya itu manusia dikategorikan
sebagai makhluk yang aktif. Bagi Goffman, sebagai makhluk yang aktif, manusia
itu justru harus mampu untuk memanipulasi situasi yang dihadapinya. Hal inilah
yang mendasari pandang Goffman bahwa seorang sosiolog harus mampu melakukan
analisis secara mandiri atas kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya.
Teori Interaksionisme
Peter L. Berger
Peter L. Berger sebenarnya bukanlah
tokoh interaksionisme simbolik murni. Ajarannya memang lebih condong ke arah
fenomenologi meskipun di dalamnya, konsep-konsep dramaturgi, realitas sosial,
dan hubungan tatap muka (face-to-face interaction) masih menjadi sorotannya di
mana hal ini konsisten dengan konsep-konsep yang menjadi dasar acuan di dalam
interaksionisme simbolik.
Dramaturgi Berger memang 'agak sedikit'
berbeda dengan miliknya Goffman. Para pelaku atau aktor di dalam dramaturgi
Berger 'menciptakan' dan 'mengembangkan' sendiri skrip atau jalan cerita yang
akan 'dimainkannya', sedangkan pada dramaturginya Goffman para pelaku atau
aktor itu 'hanya' tinggal menjalankan atau memainkan skrip (jalan cerita), di
mana skrip itu 'ditulis' dan 'dikembangkan' oleh orang lain. Realitas sosial
bagi Berger haruslah terdiri dari unsur-unsur subjektif dan objektif di mana
keseimbangan kedua unsur itu harus tercipta demi keseimbangan realitas sosial
itu sendiri. Seperti halnya Goffman, Berger juga menerapkan konsep hubungan
antarmanusia yang disebutnya sebagai hubungan inter subjektif. Bagi Berger,
face-to-face interaction atau hubungan tatap muka merupakan hubungan manusia
yang sesungguhnya. Pemikiran Berger (juga Luckman) mengacu kepada realitas
subjektif dan objektif yang keduanya itu dijadikan kerangka pemikiran untuk
melakukan pendekatan secara mikrososiologis.
Proses dialektik, bagi Berger dan
Luckman, adalah moments yang diawali dengan externalization atau
eksternalisasi, kemudian proses itu menjadi objektivation atau objektivasi, dan
diakhiri dengan internalization atau internalisasi. Ada dua hal penting dalam
proses eksternalisasi, yaitu penciptaan suatu realitas yang baru serta
pemeliharaan atau pembaharuan kembali realitas yang sudah ada, sedangkan
objektivasi maksudnya adalah suatu proses di mana orang-orang itu dapat
menangkap dan memahami realitas. Di sini peranan bahasa sangat penting karena
bahasa merupakan alat untuk memahami realitas sosial. Sedangkan internalisasi
artinya (proses) melihat setiap orang sebagaimana adanya, sebagai orang itu
sendiri. Di dalam internalisasi ini sesungguhnya terdapat proses reifikasi yang
secara konseptual memiliki makna a dehumanized world artinya dunia yang (sudah)
dimanusiawikan.
10. Postmodernisme
Dari Modernisme ke
Postmodernisme
Postmodernisme lahir sebagai gugatan
atau penolakan terhadap modernisme. Postmodernisme menganggap modernisme gagal
mewujudkan pencerahan umat manusia. Rasio yang didewakan oleh kalangan
modernisme sebagai subjek yang menentukan dalam upaya menyejahterakan umat
manusia ternyata tidak menghasilkan seperti yang diharapkan. Modernisme telah
melahirkan ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan teori-teori
besarnya, modernisme memang telah mampu menciptakan kesejahteraan sebagian umat
manusia, tetapi modernisme ternyata juga memiskinkan sebagian besar umat
manusia yang lain. Modernisme telah menyebabkan manusia kehilangan harkat
kemanusiaannya secara utuh. Semua itu menjadi sumber gugatan postmodernisme
terhadap modernisme. Karena penggugatan tersebut maka ada pula yang menyebut
post- modernisme dengan dekonstruksi, yang sebenarnya merupakan sifat dari
postmodernisme.
Paling tidak ada lima alasan penggugatan
postmodernisme terhadap modernisme. Pertama, modernisme gagal mewujudkan
perbaikan-perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana
dicita-citakan para pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu
melepaskan diri dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan
demi kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori
dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, Keyakinan bahwa ilmu
pengetahuan modern mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi manusia
ternyata keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu
pengetahuan modern kurang memperhatikan dimensi mistik dan metafisik manusia
karena terlalu memperhatikan atribut fisik individu.
Sifat lain postmodernisme selain
penggugatan adalah bersifat bebas, lokal, penolakan terhadap universalisme, dan
penolakan terhadap kontinuitas. Wacana pemikiran postmodernisme kini telah
merambah ke berbagai disiplin ilmu.
Postmodernisme dalam
Sosiologi
Perkembangan pemikiran postmodernisme
banyak mempengaruhi perkembangan ilmu sosiologi sebagai ilmu sosial yang banyak
menghasilkan teori-teori sosial besar Untuk menghadapi masalah itu, ada yang
berpendapat sebaiknya sosiolog melepaskan daya tarik sosiologi postmodern dan
bekerja keras lewat perbincangan sosiologis tentang postmodernisme. Hal itu
perlu dilakukan mengingat sosiologi postmodern mengandung risiko adanya
kontradiksi dalam istilah-istilahnya, terutama jika kita memahami sosiologi
sebagai ilmu sosial yang sistematis dan menghasilkan dalil-dalil umum. Akar
pemikiran mengenai postmodernisme bersumber mulai dari pemikiran modernisme
Weber, teori kelas Marxis yang disebut dengan strukturalis, dilanjutkan oleh
Teori Kritis mazhab Frankfurt yang juga dikenal dengan Teori Kritik Ideologi,
kemudian terakhir pemikiran Foucault yang lebih dikenal sebagai
poststrukturalis.
Dalam masyarakat postmodern dapat
dilihat dari perubahan perilaku ekonomi dari masyarakat yang mengutamakan asas
manfaat menjadi masyarakat yang lebih mengutamakan simbol atau tanda. Suatu
benda dimiliki bukan karena benda itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari,
tetapi lebih karena benda tersebut melambangkan simbol, tanda, dan status
tertentu. Karena lebih mengutamakan simbol maka masyarakat postmodern lebih
mengagungkan citra. Citra yang sebenarnya merupakan realitas semu dianggap
seolah-olah realitas yang sebenarnya yang ditampilkan melalui iklan dan
tontonan. Karena itu, masyarakat postmodernisme juga disebut masyarakat
hiperrealis dan masyarakat konsumer.
Tokoh-tokoh
Postmodernisme
Postmodernisme lahir dari pergolakan
pemikiran para ahli dengan latar belakang berbeda sehingga menghasilkan
berbagai ragam pemikiran, dengan gaya dan bahasa yang berbeda. Hal itu sesuai
dengan prinsip dasar postmodernisme yang menolak penyeragaman. Kita akan
mengalami kesulitan untuk mencapai kesimpulan tunggal tentang postmodernisme
dan tatanan masyarakat yang digambarkannya. Derrida menekankan penolakan
terhadap kebenaran tunggal; dan dalil-dalil umum ilmu pengetahuan dengan cara
mendekonstruksi bangunan pemikiran modernisme. Foucault menyoroti banyak aspek
tentang masyarakat postmodern. Ia menolak pandangan tentang kekuasaan yang
sentralistik. Ia berpendapat kekuasaan tidak berada di tangan orang yang
berkuasa, tetapi menyebar dan ada di mana-mana. Kekuasaan melekat dalam ilmu pengetahuan.
Sementara itu Baudrillard menyoroti perkembangan budaya dan perilaku ekonomi
dari masyarakat modern kapitalis yang lebih mengutamakan nilai produksi dan
nilai guna ke masyarakat postmodernisme yang lebih menekankan nilai simbol.
Seperti halnya Derrida, Lyotard menolak kebenaran tunggal ilmu pengetahuan. Ia
berpendapat bahwa sekarang ini, tidak mungkin ada penjelasan tunggal atau ganda
tentang ilmu pengetahuan. Legitimasi kebenaran ilmu pengetahuan tidak dapat
bersandar pada satu narasi besar sehingga menurut Lyotard ilmu pengetahuan saat
sekarang ini lebih baik dipahami dalam pengertian teori permainan bahasa.
Pemikiran
postmodernisme akan terus bebas berkembang. Ia akan mengalir dalam diskusi yang
tanpa henti.
11. Teori
Feminisme Kontemporer
Teori Sosiologi Gender
Konsep sex (jenis kelamin) dan gender
masih sering dipahami secara rancu dalam masyarakat. Konsep gender yang
sebenarnya merupakan peran dan perilaku laki-laki dan perempuan sesuai dengan
pengharapan sosial, sering kali dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang tak
dapat diubah. Hal tersebut menjadi masalah karena kekeliruan tersebut
menimbulkan ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
Dalam membahas gender, sosiologi melihat
dari teori makro (fungsional struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro
(interaksionisme simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip konsensus
dan keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap pembagian kerja
antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang paling sesuai, agar
dalam kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan dapat saling melengkapi.
Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa dalam kehidupan keluarga, istri atau
perempuan dalam posisi yang tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi,
seksual, dan pemilikan properti. Janet Chafetz menganalisis bahwa perempuan
menduduki posisi yang rendah dalam masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi
jenis kelamin. Sedangkan teori sistem dunia yang selama ini hanya
memperhitungkan kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap telah
mengurangi kontribusi perempuan di bidang produksi ekonomi karena mengabaikan
pekerjaan perempuan dalam rumah tangga.
Dari teori mikro sosial gender,
interaksionisme simbolik mengidentifikasi bahwa individu berusaha memelihara
identitas gendernya di berbagai situasi serta memahami bagaimana arti menjadi
perempuan atau laki-laki. Sementara itu, etnometodologi menganggap bahwa
identitas gender individu diperoleh melalui interaksi dalam berbagai situasi.
Dengan demikian, melalui budaya yang berbeda individu akan mengidentifikasi
peran gendernya secara berbeda sesuai dengan situasi sosial.
Teori Feminisme
Kontemporer
Masalah ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat telah menimbulkan berbagai
reaksi dari berbagai kalangan masyarakat. Perbedaan sosial budaya yang
melatarbelakangi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender di berbagai tempat
telah sejak lama diamati dan dianalisis menjadi teori-teori feminisme yang
beragam. Teori ketidaksetaraan gender mencakup teori feminisme liberal dan
feminisme Marxist.
Feminisme liberal memfokuskan
perhatiannya pada ketidaksetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Diskriminasi gender berupa pemisahan domain privat dan publik, pengutamaan
laki-laki dibanding perempuan, menurut feminis ini menyebabkan terbatasnya
gerak perempuan sehingga peranan perempuan menjadi mengecil, sedangkan
feminisme Marxist menganggap bahwa akar dari ketidaksetaraan perempuan adalah
sistem kelas dalam masyarakat kapitalis. Perempuan tidak hanya mengalami
ketidakadilan di antara kelas sosial, tetapi di dalam kelas sosialnya sendiri
mereka merupakan subordinasi dari laki-laki.
Termasuk dalam teori penindasan gender
adalah feminisme psikoanalis, feminisme radikal, dan feminisme sosialis.
Feminisme psikoanalitis berpandangan bahwa ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan adalah akibat dari sistem patriarki di mana maskulinitas dianggap
lebih baik daripada femininitas. Sementara itu, feminisme radikal berpendapat
sistem patriarki merupakan bentuk praktik kekerasan dan penindasan oleh
laki-laki dan organisasi yang dikuasai laki-laki terhadap perempuan. Penindasan
tersebut dalam bentuk kekerasan fisik dan non-fisik. Penindasan menurut
feminisme radikal adalah akibat dari perbedaan biologis, dan basis dari
subordinasi adalah institusi keluarga. Penindasan tersebut membentuk hubungan
dominasi laki-laki terhadap perempuan.
Pembentukan persaudaraan perempuan dan
hubungan homoseksual adalah beberapa cara yang disarankan oleh feminis radikal
untuk menghapuskan penindasan gender. Sedangkan feminisme sosialis menganggap
bahwa penyebab penindasan perempuan adalah ketergantungan ekonomi perempuan
terhadap laki-laki. Dalam keluarga, suami tidak hanya menjadi pemilik properti
keluarga, tetapi juga sebagai pemilik istri. Istri tidak lebih dari properti.
Kedudukan perempuan yang inferior terhadap kedudukan laki-laki ini terkait dan
menentukan kedudukan perempuan dalam sistem kelas keluarga dan kapitalisme.
Teori feminisme lain yang telah
dikembangkan antara lain adalah feminisme postmodern, feminisme
multikultural/global, serta ekofeminisme. Ekofeminisme memi-liki pandangan yang
berbeda dengan aliran feminisme lain, di mana teori ini justru mengajak manusia
untuk mengembalikan dan menambah kualitas feminin pada kegiatan manusia dalam
pembangunan. Tujuan ekofeminisme ini adalah menumbuhkan rasa cinta kelembutan,
keibuan, dan pengasuhan kepada dunia, yang dapat mengurangi kerusakan
lingkungan akibat kegiatan manusia yang terlalu maskulin.
Read more...
Labels:
go paradigm
Subscribe to:
Posts (Atom)