PARADIGMA DALAM PERKEMBANGAN ILMU AKUNTANSI
>> Friday 22 November 2013
PARADIGMA
DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN AKUNTANSI
Oleh
Bayu
Sakti Wicaksono
NIM. 136020300111019
I.
Pendahuluan
Sejatinya ilmu pengetahuan yang terdapat
dalam dunia sekarang bisa dikategorikan dalam dua hal yakni pada hal yang
bersifat alamiah (natural) dan
masyarakat (society). Dewasa ini
perlu dilakukan berbagai pengembangan ilmu pengetahuan untuk mengeksplorasi apa
yang terdapat dalam dua hal tersebut. Namun untuk mengesplorasi kedua hal yang
merupakan sesuatu yang penting tersebut, diperlukan cara pandang untuk
memecahkan masalah tersebut. Akan tetapi pada saat ini para peneliti yang ingin
memecahkan masalah tersebut hanya berfokus pada satu paradigma. Dalam hal ini
biasa disebut dengan paradigma positivism atau dalam istilah sosiologi digunakan
dengan istilah functionalist sosiology.
Menurut para pengguna atau aliran paradigma positivism, mereka menganggap suatu
masalah yang timbul dapat diselesaikan dengan cara menggunakan paham objektif.
Akan tetapi terkadang sesuatu masalah tersebut menurut penulis tidak dapat
diselesaikan bila hanya menggunakan pandangan objektif. Perlu pula bila suatu
penelitian menggunakan pendekatan subjektif dalam melakukan penelitian.
Dikarenakan terdapat beberapa penelitian yang berguna dalam perkembangan ilmu
pengetahuan tidak bisa hanya diselesaikan dengan menggunakan pendekatan
objektifitas
George Ritzer mengemukakan pikirannya
mengenai paradigma: “yaitu paradigma menentukan masalah apa yang akan diteliti,
pertanyaan penelitian yang akan diajukannya, caranya mengajukan pertanyaan
penelitian, dan aturan yang diikutinya dalam menafsirkan temuan penelitiannya”.
Menurut Ritzer untuk memecahkan suatu permasalahan dalam peneliti dalam suatu
ilmu pengetahuan maka diperlukan suatu paradigma yang tepat untuk memecahkan
masalah yang tepat. Dikarenakan sungguh tidak tepat bila memecahkan suatu
permasalahan tetapi paradigma yang digunakan tidak cocok untuk memecahkan
masalah itu. Justru yang terjadi masalah akan semakin banyak. Misalnya sebuah
permasalahan yang cocok digunakannya dengan menggunakan paradigma interpretif
yang penelitian tersebut bertujuan untuk memahami dan mencari fenomena yang
ada, malah justru menggunakan paradigma positivism. Selain dari paradigma yang
digunakan dalam hal pertanyaan yang diajukan dalam mencari data yang digunakan
memecahkan suatu permasalahan juga tergantung dari permasalahan yang dihadapi.
Misalnya dalam hal ini pemecahan masalah yang sebaiknya menggunakan pertanyaan
yang tidak terstruktur justru yang digunakan adalah pertanyaan yang tertutup
atau yang lebih dikenal dengan kuesioner. Yang akan terjadi justru terjadi bias
dalam penelitian. Bias penelitian yang dimaksud adalam ketidakcocokkan antara
instrument atau alat yang digunakan untuk memperoleh data dengan tujuan
penelitian. Sehingga dalam memecahkan masalah yang digunakan dalam pengembangan
ilmu pengetahuan maka perlu digunakan paradigma yang tepat agar masalah yang
ada dapat dipecahkan oleh peneliti.
II.
Pembahasan
Kuhn menjelaskan pandangan dengan apa
yang dinamakan sebagai paradigm. Istilah ini tidak dijelaskan secara konsisten,
sehingga dalam berbagai keterangan sering berubah konteks dan arti. Pemilihan
kata ini erat kaitannya dengan sains normal, yang oleh Kuhn dimaksudkan untuk
mengemukakan bahwa seberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima (yaitu
contoh-contoh yang sama-sama menyangkut dalil, teori, penerapan dan
instrukmentasi) telah menyajikan model-model daripadanya lahir tradisi-tradisi
tertentu dari riset ilmiah. Atau dengan kata lain, sains normal adalah kerangka
referensi yang mendasari sejumlah teori maupun praktik-praktik ilmiah dalam
periode tertentu. Paradigma ini membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains
normal, dimana para ilmuwan berkesempatan menjabarkan dan mengembangkannya
secara terperinci dan mendalam, karna tidak sibuk dengan hal-hal yang mendasar.
Dalam fase ini, ilmuwan tidak bersikap kritis terhadap paradigma yang
membimbing aktivitas ilmiahnya, dan selama menjalankan riset ini, ilmuwan bisa
menjumpai berbagai fenonema yang tidak bisa diterangkan dengan teorinya. Inilah
yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk dan kualitasnya semakin
meninggi, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah, paradigma mulai
dipertanyakan. Dengan demikian, sang ilmuwan sudah keluar dari sains normal. Untuk
mengatasi krisis itu, ilmuwan bisa kembali lagi pada cara-cara itu atau
mengembangkan suatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan
bimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah
revolusi ilmiah.
Menurut pendapat yang dikeluarkan oleh
Denzin & Lincoln (1994:107) paradigma yang ada harus berdasarkan pada tiga
hal yang penting yakni pada aspek ontology,
epistemological maupun methodological. Karena tanpa adanya
ketiga aspek penting ini maka tidak akan ada yang disebut paradigma. Sehingga
dapat dikatakan paradigma menurut Denzin dan Lincoln (1994) paradigma adalah
suatu pandangan peneliti mengenai bagaimana hakikat dari suatu realitas yang
ada, alasan peneliti tersebut ingin mengetahui realitas dan dengan cara apa peneliti
tersebut ingin mengetahui realitas tersebut. Sehingga dapat dikatakan ketiga
aspek yang dikemukakan oleh Denzin dan Lincoln merupakan pondasi awal jika
suatu peneliti ingin memecahkan suatu permasalahan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maka peneliti tersebut harus berdasarkan ketiga aspek tersebut.
Namun, menurut Creswell (2007:18) harus
terdapat dua hal lagi selain aspek ontology,
epistemology, dan metodology yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan suatu masalah yakni aksiologi dan rhetorical. Pada aspek
rhetorical memuat nilai tentang bagaimana bahasa yang harus digunakan dalam
penelitian agar audiens dapat memahami apa yang disampaikan. Karena akan
percuma walaupun sebuat pandangan sudah memenuhi ketiga aspek yang lain namun
bahasa yang digunakan tidak tepat. Selain itu terdapat pula aspek aksiologi
menurut Creswell (2007:18) merupakan peranan nilai yang terdapat dalam
penelitan tersebut. Karena bila suatu penelitian tidak mempunyai peranan
nilainya maka dapat penulis katakana penulis tersebut tidak berarti dalam
kalangan masyarakat atau bisa juga dikatakan tidak berguna dalam kehidupan
masyarakat.
Berdasarkan dari kelima aspek tersebut
yakni ontologis, epistemology, metodologi, aksiologi dan retorika maka akan
banyak bermunculan paradigma yang terdapat dalam pengembangan ilmu pengetahun.
Seperti paradigma yang telah dikembangkan oleh Burrell dan Morgan (1979)
menjadi empat paradigma yaitu paradigma positivism, interpretif, radical humanist dan radical strukturalis. Kemudian terdapat peneliti
lain yang membuat paradigmam menjadi tiga yang merupakan pengembangan dari
paradigma yang telah dibuat oleh Burrell dan Morgan (1979) yakni Chua (1986)
dalam jurnal yang berjudul Radical
Develoments in Accounting Thought. Chua (1986) membagi paradigma tersebut
menjadi tiga paradigma yaitu paradigma positivism, interpretif dan kritis.
Paradigma kritis yang dibangun oleh Chua merupakan pengabungan dari paradigma
radical humanist dan radical strukturalis. Namun Sarantakos (1993)
mengklasifikasikan paradigma penelitian menjadi empat, yaitu: (1) positivist
paradigma, (2) interpretivist paradigma, (3) critical paradigma, dan (4)
postmodernist paradigma. Sehingga dapat penulis katakan bahwa
paradigma-paradigma yang dibangun oleh para peneliti merupakan ilmu pengetahuan
yang berbasis mulitparadigma. Dengan adanya ilmu pengetahuan yang berbasis
multiparadigma maka segala masalah yang terdapat dalam pengembangan ilmu
pengetahuan dapat diselesaikan dengan berbagai pandangan, tidak hanya cukup
dengan satu pandangan. Suatu permasalahan dalam ilmu pengetahuan yang hanya
diselesaikan dengan satu pandangan mungkin dianggap benar dalam salah satu
pandangan. Akan tetapi mungkin menurut pandangan orang lain permasalahan
tersebut belum bisa dipecahkan. Kita ketahui bersama kebenaran dalam dunia ini
tidak ada, baik dalam ilmu pengetahuan.
Sehingga dengan adanya ilmu pengetahuan
yang berbasis multiparadigma maka suatu permasalahan yang ada tidak hanya
diselesaikan dari satu paradigma yang dianggap banyak kalangan dapat memecahkan
semua masalah, akan tetapi perlu juga memecahkan masalah yang ada dengan
menggunakan berbagai paradigma yang terdapatnya perbedaan hasil dalam pemecahan
masalahnya. Selain itu, dengan adanya ilmu pengetahuan yang berbasis
multiparadigma maka ilmu pengetahuan yang ada dapat berkembang lebih luas.
Tidak terkotak dalam satu mindset yang terbungkus rapi. Yang tidak bisa
dibongkar atau dikelola lebih baik. Tetapi lebih pada pengembangan ilmu
pengetahuan tersebut yang dipandang dari beberapa paradigma. Karena menurut
penulis suatu ilmu pengetahuan yang hanya dipandang dari satu sudut dalam
proses pengembangannya akan tidak berkembang. Misalnya suatu ilmu pengetahuan
dalam hal ini akuntansi, hanya dipandang dari paradigma positivism, maka
sesungguhnya akuntansi tersebut tidak akan berkembang. Karena akuntansi bukan
hanya sekedar pencatatan maupun pembuatan laporan keuangan, tapi akuntansi
dapat lebih berkembang. Perkembangan ilmu akuntansi tidak hanya sebatas pada financial accounting atau yang berbasiskan
pada angka. Akan tetapi terdapat aspek-aspek lain di luar angka yang dapat
mempengaruhi perkembangan akuntansi tersebut misalnya psikologi, politik,
budaya, sosiologi maupun aspek-aspek lain yang di luar angka-angka tersebut.
Sungguh sangat naif jika kita beranggapan bahwa suatu ilmu pengetahuan hanya
bisa dikembangkan melalui satu paradigma saja. Sehingga menurut penulis ilmu
pengetahuan berbasis multiparadigma perlu dikembangkan dalam pengembangan ilmu
pengetahuan, sesuai dengan pendapat penulis di atas ilmu pengetahuan yang ada
harus berbasiskan multiparadigma. Dikarenakan suatu pemecahan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan tersebut tidak hanya bisa dikembangkan dari satu
paradigma, akan tetapi harus menggunakan berbagai paradigma. Sehingga bisa menjadi
dasar pertimbangan bagi berbagai kalangan terhadap ilmu pengetahuan itu.
III.
Penutup
Perkembangan ilmu pengetahuan erat
terkait dengan paradigma dan model atau skema interpretasi tertentu yang
digunakan oleh ilmuwannya. Cara ilmuwan memandang dunia menentukan dunia macam
apa yang dilihatnya itu. Jadi pengetahuan sama sekali bukan plagiarism
realitas, melainkan realitas hasil kontruksi manusia. Dan bahwa paradigma yang
mendasari konstruksi itu di terima dan dipercayai oleh komunitas para ilmuwan,
bukan terutama karna para ilmuwan itu tahu bahwa itu yang benar, melainkan
karna mereka percaya bahwa itu yang terbaik, yang paling memberi harapan bila
digunakan dalam riset-riset selanjutnya. Salah satu ciri perkembangan ilmu
pengetahuan adalah perhatian terhadap sejarah ilmu dan filsafat sains. Dan
peranan sejarah ilmu dalam upaya mendapatkan serta mengkonstruksikan wajah ilmu
pengetahuan dan kegiatan ilmiah yang terjadi. Sejarah ilmu merupakan starting point dan kaca mata utamanya
dalam menyoroti permasalahan-permasalahan fundamental dalam epistemologi, yang
selama ini masih menjadi teka-teki. Sains pada dasarnya lebih dicirikan oleh
paradigma dan revolusi yang menyertainya. Dan Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan selalu terdapat dua fase yaitu; normal
science dan revolutionary science.
Singkatnya, normal science adalah
teori pengetahuan yang sudah mapan sementara revoutionary science adalah upaya kritis dalam mempertanyakan ulang
teori yang mapan tersebut dikarenakan teori tersebut memang problematis.
IV.
Pustaka
Burrell,
G dan G. Morgan, 1979, Sociological
Paradigms and Organisational Analysis: Elements of The Sociology of Corporate
Life. Heinemann Educational Books, London
Chua,
Wai Fong. 1986. Radical Developments in
Accounting Thought. The Accounting Review, Vol 61, No 4.
Creswell,
John,W. 2007. Qualitative Inquiry &
Research Design Choosing Among Five Approaches. Sage Publication. New Dehli
Kuhn,
Thomas., 2005. The Structure of
Scientific Revolutions (Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains), Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
M.
Gaffikin. 2006. The Critique of
Accounting Theory. University of Wollongong
0 Go Comment:
Post a Comment