REVIEW JURNAL “ISLAMIC ACCOUNTING ANTHTROPOLOGY: AN ALTERNATIVE SOLUTION TO SOLVE MODERNITY PROBLEMS” dan BUKU “THE PROTESTANT ETHIC AND THE SPIRIT OF CAPITALISM”

>> Wednesday 25 September 2013


Max Weber dalam bukunya The Protestant Ethnic mengemukakan pendapat bahwa di masa eropa modern para pemeluk Kristen Protestan yang terdiri dari pedagang besar, pemilik modal maupun tenaga kerja terampil memiliki keyakinan untuk bekerja keras dengan memanfaatkan sumberdaya yang minimal guna mendapatkan hasil yang sebanyak-banyaknya untuk memperoleh kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan. Hal ini sesuai dengan ajaran gereja bahwa anugerah dari Tuhan di wujudkan dalam bentuk etos kerja dari individu untuk mendorong seseorang untuk bekerja keras dalam usahanya untuk memperoleh kasih sayang Tuhan sehingga bisa bahagia di dunia dan akhirat. Sedangkan protestan memiliki keinginan yang kuat dan tertarik untuk meningkat dan berkembang. Weber mengamati bahwa Protestan memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Sikap seperti itu berhubungan erat dengan pandangan hidup protestan untuk bekerja sebagai ibadah.
      Pemeluk protestan menerapkan nilai-nilai dari pemikiran terhadap pemahaman atas masalah umum dimana ide (daya pikir) seseorang menjadi kekuatan yang efektif untuk menggerakkan ekonomi. Pemikiran ini merupakan dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah bersifat manusiawi, akan tetapi yang menentukan tingkat kemakmuran yang dicapai seseorang lebih ditentukan oleh sikap dan perilaku orang tersebut dalam memenuhi kebutuhannya. Perilaku dalam aktivitas ekonomi di Eropa sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya yang telah mengakar dengan kuat yakni etika protestan dimana hal ini mendorong berkembangnya pengaruh kapitalisme di eropa. 
      Salah satu elemen dasar dari perkembangan kapitalisme adalah perilaku rasional yang didasarkan pada panggilan Tuhan sesuai dengan kotbah gereja. Weber mendeskripsikan bahwa dunia beserta isinya adalah pemberian dari Tuhan yang harus dimanfaatkan semaksimal mungkin. Kerja dianggap sebagai ibadah yang bersifat mutlak dan suci. Kerja juga dianggap sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Weber beranggapan bahwa jika pemeluk protestan tidak mau bekerja dan bersifat malas-malasan maka itu akan menjadi dosa bagi individu yang bersangkutan. Dengan kata lain, ketaatan yang utama dari pemeluk protestan dapat diukur dari gairah dan etos kerja yang dimiliknya. Semakin banyak harta yang dimilikinya, maka semakin tebal keimanan individu tersebut. Begitu juga sebaliknya semakin sedikit harta yang dimiliki dapat diartikan keimanannya terhadap Tuhan juga rendah. Logika inilah yang menjadikan asumsi sekaligus memiliki hubungan yang searah antara ketaatan dan kemampuan ekonomis yang dimiliki oleh pemeluk protestan. Kerja merupakan suatu tujuan peribadi dari setiap orang, kerja tidak dipandang sebagai kegiatan yang incidental. Masyarakat kapitalis memandang manusia terutama sebagai pekerja dan tidak peduli apapun yang menjadi pekerjaan mereka. Inilah yang menjadi dasar perilaku dari masyarakat kapitalis. 
Weber juga menambahkan bahwa kapitalisme di eropa dapat berkembang karena nilai-nilai askestis dalam ajaran protestan. Pemikiran untuk tidak cepat puas dengan keberhasilan yang telah dicapai adalam asumsi dasar dari pemikiran ini. Dalam pandangan Weber tentang relasi antara kapitalisme dan agama protestan ini adalah kapitalisme yang didasarkan bukan pada keinginan untuk mengumpulkan keuntungan semata. Namun sebuah aktifitas rasional yang menekankan pada keteraturan, disiplin, hirarki dalam sebuah organisasi. Dalam pemikiran Weber seharusnya kapitalisme tidak hanya mementingkan harta dan kekayaan saja dalam mencapai kebahagiaan, karena tidak selamanya kebahagiaan ditentukan secara material dari kekayaan yang dimiliki seseorang. Walaupun sebenarnya dalam konteks kapitalisme hal tersebut adalah wajar.
Weber memperlihatkan bahwa ajaran protestan tertentu mendukung pengejaran keuntungan ekonomi yang rasional dan bahwa kegiatan-kegiatan duniawi telah memperoleh semangat spiritual dan moral yang positif. Ini bukanlah tujuan dari tujuan-tujuan keagamaan tersebut, melainkan lebih sebagai produk sampingan. Logika inheren dari doktrin-doktrin tersebut dan saran-saran yang didasarkan pada pada pemeluk protestan baik yang secara langsung maupun tidak langsung mendorong perencanaan dan penyangkalan diri demi pengejaran keuntungan ekonomi.
Karakteristik kapitalisme modern menurut Weber adalah sebagai berikut:
1. Adanya usaha-usaha ekonomi yang diorganisir dan dikelola secara rasional di atas landasan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan berkembangnya kekayaan pribadi.
2.    Berkembangnya produksi untuk pasar.
3.    Produksi untuk masyarakat melalui masyarakat.
4.    Produksi untuk mendapatkan kekayaan.
5.    Adanya antusiasme, etos kerja dan efisiensi maksimal yang menuntut manusia untuk bekerja keras.
      Weber mengemukakan adanya wewenang dalam hubungan manusia yang menyangkut juga hubungan dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota masyarakat. Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan penerimaan sosialnya yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan adalah kemampuan untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik kekuasaan.
Dalam perkembangannya, kapitalisme merupakan semangat yang sering mendapatkan penekanan adalah sebagai usaha, berani mengambil resiko, persaingan dan keinginan untuk mengadakan inovasi. Tata nilai yang memadai kapitalisme ( terutama di negara Anglo Saxon ) adalah individualisme, kemajuan material dan kebebasan politik. Pertumbuhan kapitalisme, dan terutama industrialisasi oleh kapitalis, juga berarti melahirkan kelas pekerja yang besar dinegara yang lebih maju. Sering berdesakan didaerah yang kotor di kota-kota industri yang baru berkembang, jam kerja yang lama dengan upah yang rendah dan dalam keadaan yang menyedihkan dan tidak sehat, kehilangan lembaga pengatur yang terdapat di daerah asalnya, dan untuk selama beberapa dekade disisihkan sama sekali dari proses politik – pekerja dieropa tak dapat diabaikan untuk keberhasilan kapitalisme dan juga merupakan persoalan sosial dan politik yang paling besar selam tingkat permulaan kapitalisme industri ini.Seiring berjalannya waktu, prospek kapitalisme tidak begitu cerah seluruhya segera sesudah terjadinya krisis finansial yang melanda Amerika Serikat yang kemudian berdampak bagi negara-negara lain. Banyak para kalangan yang mengatakan bahwa ini adalah saatnya kehancuran kapitalisme.
Dengan kegagalan kapitalisme membangun kesejahteran umat manusia di muka bumi, maka isu kematian ekonomi kapitalis semakin meluas di kalangan para cendikiawan dunia. Kapitalisme yang telah melanda seluruh dunia mau tidak mau harus dilawan dengan mewujudkan sistem ekonomi yang mandiri. Salah satu alternatifnya adalah ekonomi Islam.
Akuntansi memainkan peran pendukung dalam kapitalisme yang mengutamakan keuntungan, akumulasi kekayaan, dan orientasi pasar. Kepentingan pribadi menjadi tujuan utama pada hubungan Ekonomi, Keuangan dan Akuntansi. Kepentingan pribadi sebagai kunci dari masalah modernitas karena individualismenya. Penekanan pada “individu” bukan “ummah” seperti maqashid syariah, telah memperbesar kesenjangan, ketidakseimbangan, dan kehancuran. Jika akuntansi Barat mempertahankan dominasi evolusionisme berdasarkan Kristen Protestan dan Yahudi, maka sekali lagi akuntansi akan menjadi turunan kapitalisme yang kini telah berevolusi menjadi neo-liberalisme.
Perkembangan Islamic Accounting tidak sepenuhnya bebas dari neoliberalisme yang menjebak dalam dua hal. Pertama, di bawah evolusionime budaya, akuntansi harus berkembang ke pengukuran materialistis yang lebih baik karena bertujuan untuk mencapai pertumbuhan inkremental kebahagiaan manusia melalui pencapaian pertumbuhan laba, terhadap representasi nilai – nilai zakat. Kedua, di bawah pengaruh pandangan orientalis yang menganggap bahwa segala sesuatu berevolusi untuk modernitas seperti yang dirasakan oleh Barat sehingga  mengadopsi akuntansi sekuler untuk mempengaruhi dan mengendalikan Islamic Accounting Standard Setter melalui pemakaian dan reproduksi akuntan yang dipengaruhi oleh pola pikir Barat. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian Mulawarman dan Kamayanti untuk memecahkan masalah modernitas (kapitalisme) melalui Islamic Accounting Antropology yang berbeda dalam hal fungsional, primitive-modern dan pandangan superioritas budaya atas antropologi Barat.
Di bawah evolusionisme, Islamic Accounting telah berkembang sejalan dengan modernitas dalam masyarakat baik dari pandangan global (Accountants dan Auditors of Islamic Financial Institutions) dan pandangan lokal (Indonesia – Ikatan Akuntan Indonesia). Sebagian besar anggota AAOIFI mempunyai latar belakan lembaga keuangan, yaitu perbankan dan asuransi serta perusahaan yang bertindak sebagai pengambil keputusan. Hal ini akan mengarahkan hasil keputusan AAOIFI yang sebagian besar mengutamakan kepentingan investor. Dalam pandangan lokalpun tidak bisa terlepas dari akuntansi positif neo-liberal.   Perkembangan akuntansi positif neo-liberal di Indonesia sangat dipengaruhi oleh gerakan ekonom yang dibentuk oleh pola pikir kapitalis melalui pendidikan (pemberian beasiswa untuk akademisi Indonesia) yang dikenal sebagai “The Mafia Berkeley”. Mafia Berkeley merupakan gerakan “kepemimpinan intelektual/ moral”, istilah yang diperkenalkan Gramsci (1971), untuk melegitimasi dominasi Barat. Anggota Dewan Standar Akuntansi Syariah (IAI) – pun sebagian besar merupakan akuntan publik, asuransi dan perbankan sehingga perusahaan akuntansi Amerika mungkin memiliki peran sentral dalam menentukan standar syariah. Selain itu, adanya pandangan akuntansi positif yang menganggap universalitas dan keseragaman sebagai kunci untuk modernisasi memaksa diberlakukannya IFRS di Indonesia. Pada gilirannya, DSAS kemudian mengadopsi kerangka konseptual IFRS. Pernyataan Standar Akuntansi Syariah 101 – 102 mengadopsi akuntansi konvensional yang berorientasi pada akumulasi modal (tercermin dala Profit and Loss Sharing/PLS). Hal ini menyebabkan egoisme pemilik modal dan manajer bukannya kesejahteraan ummah.
Secara konseptual, baik AAOIFI dan IAI masih menetapkan standar akuntansi syariah berdasarkan Entity Theory yang mengikuti akuntansi positif dengan mencerminkan kepentingan pribadi ‘iman’ dalam dua poin, yaitu:
1.      Pemisahan korporasi/ perusahaan sebagai tindakan entitas sebagai pembatasan tanggung jawab pemilik.
2.      Keduanya menghasilkan Laporan Laba Rugi, dimana pendapatan ditujukan untuk pemegang saham. AAOFI menambahkan laporan Statement of restricted account untuk deposit dan investasi yang dilakukan oleh deposan berdasarkan mudharabah muqayyadah, statement of Qard Hassan, dan Statement of Zakat and Charity Fund. Hal itu dibuat agar lebih islami (Latifah, Asfadillah dan Sukmana, 2012).
AAOIFI dan IAI terjebak dalam konsep logika ‘profit and market’ konvensional. Kepentingan ummah berganti menjadi kepentingan pasar. Hal ini menunjukkan bahwa nilai zakat telah diabaikan. Islamic Accounting Antrhropology harus mampu menemukan makna dan konsep dasar spiritual yang didasarkan pada nilai-nilai zakat, bukan hanya rincian teknis semata.  
Peneliti menggunakan diffusionism sebagai pendekatan antropologis untuk melihat perkembangan Islamic Accounting. Dalam diffusionism, peradaban terbentuk karena eksistensi pusat kebudayaan. Melalui pendekatan ini, Islamic Accounting tidak dipandang sebagai “teknologi” tetapi sebagai “budaya”, bukan sebagai “alat” tetapi sebagai “nilai-nilai”. Sehingga akuntansi harus digunakan untuk membawa kita kembali tidak hanya pada “inti budaya”, tetapi juga “nilai-nilai” kita yang berakar lebih dalam dari inti kebudayaan, yaitu Islam.
Dalam pendekatan diffusionism-antropologis, peneliti menggunakan Antropologi Islam yang direkomendasikan Ahmed (1989) dengan beberapa modifikasi untuk memenuhi tujuan dan meletakkan asumsi yang seharusnya tidak ditinggalkan, yaitu: 1) mengacu pada Al-Qur’an; 2) memandang Islam tidak dalam perspekstif sosiologis (Islam sebagai fungsi), melainkan dalam perspektif teologis (Islam sebagai keyakinan); dan 3) meningkatkan kebutuhan untuk mengembangkan Antropologi Islam (akuntansi) sebagai suatu proses yang berkelanjutan dalam pendidikan (dari sarjana sampai tingkat doktoral).
Antropologi Islam memiliki satu tujuan utama yaitu mencapai masyarakat Islam dimana bahan utamanya adalah tauhid sebagai integrasi nilai. Antropologi Islam pada dasarnya merupakan antropologi terapan, yang berarti bahwa antropologi mengarahkan untuk mengubah masyarakat (tidak dalam pandangan orientalis) dari kekacauan (modernitas/ kapitalisme/ sekulerisme) masyarakat menjadi masyarakat yang tertib dengan menghormati setiap kebudayaan. Dengan pendekatan ini, peneliti menunjukkan bahwa teori akuntansi yang berbeda dan muncul dari nilai yang berbeda pasti akan menghasilkan praktik akuntansi yang berbeda. Peneliti mengusulkan tiga solusi sebagai hasil penelitian yaitu:
1.      Sangat penting untuk dicatat pentingnya kontekstualitas dalam akuntansi sebagai hal yang penting dalam pendekatan antropologi, yaitu harus selalu mengacu pada enam rukun iman. Berarti bahwa akuntansi normatif digunakan, bukan akuntansi positif. Melalui pendekatan synchronic – diachronic yang terpadu, Mulawarman (2011a) menemukan trilogi maisyah-rizq-maal berdasarkan barakah sebagai inti akuntansi. Maisyah merupakan usaha yang dikirimkan manusia untuk menemukan rizq, dan dalam pengumpulan rizq maka assets atau mal akan terbentuk. Konsep ini di bawah payung tauhid, namun dikembangkan melalui studi praktek Islam lokal serta penelusuran kehidupan nabi.
2.   Akuntansi Islam harus kembali pada ontologi fundamental dari sifat manusia, yaitu sebagai abdullah (hamba Allah) dan khalifatullah fil ardh (perwakilan Allah).
Pada persamaan akuntansi:
a.       Aset = Kewajiban + Ekuitas
b.      Laba = Pendapatan – Beban
Persamaan – persamaan tersebut menunjukkan bahwa kepentingan pribadi sebagai ‘iman’ dengan penekanan pada keuntungan (persamaan b), hal ini merupakan tujuan bisnis yang didukung oleh akuntansi. Laporan Laba Rugi dalam prakteknya merupakan konsekuensi pada Entity Theory. Aset merupakan akumulasi kekayaan (persamaan a) yang juga merupakan inti dari akuntansi konvensional (kapitalisme). Oleh karena itu, berdasarkan teori dan penelitian – penelitian yang dilakukan sebelumnya maka penulis mencoba merumuskan Islamic Accounting melalui antropologi akuntansi Islam. Hubungan yang unik antara Quran dan kontekstual implementasi akuntansi Islam   dapat diabstraksikan dan direkontruksi. Misalnya dengan menggunakan Shariah Enterprise Theory dan aplikasi trilogi maisyah-rizq-maal dengan menggunakan abdullah dan khalifatullah fil ardh sebagai sifat manusia, maka praktek akuntansi yang unik akan dihasilkan. Misalnya Laporan Akuntansi yang ditemukan Mulawarman (2011a, 2011b) seperti Shariah Cash Flow Statement based on maisyah, Shariah Value Added Statement based in Rizq dan Shariah Balance Sheet Based On Maal dengan kepatuhan dan kreativitas sebagai representasi abdullah dan khalifatullah fil ardh. Sehingga penelitian ini menemukan konsekuensi atas pengakuan (akuntabilitas keuangan dan sosial), kepatuhan pengakuan (halalan thoyyiban), penilaian berbasis zakat, sistem akrual terbatas yang menolak konsep time value of money (karakter gharar) dan penilaian Al Hisbah untuk melindungi pasar lokal. Selanjutnya untuk menghindari jatuh dalam perangkap kepentingan pribadi, zakat harus menjadi wacana utama dalam akuntansi syariah.
3. Membangkitkan kesadaran melalui pendidikan (pendidikan akuntansi). Jika pendidikan akuntansi dipimpin untuk mengenali kesadaran nasional dan ummah, maka hasil yang berbeda mungkin akan timbul. Hal ini telah dilakukan di Universitas Brawijaya dengan menggunakan integrasi akuntansi dan nilai-nilai agama untuk membawa kesadaran. Pendidikan akuntansi tidak hanya dipandang sebagai transfer pengetahuan akuntansi, melainkan juga memicu kesadaran kritis dalam semangat lokal kebijaksanaan dan religiusitas.
Dengan pendekatan Antropologi Islam merupakan alat untuk membebaskan akuntansi dari kapitalisme, selain itu untuk mencapai Episentrum masyarakat Islam. Dalam masyarakat ini, akan ada praktik akuntansi yang sangat Quran dan kontekstual sebagai hasil dari pendekatan synchronic – diachronic Antropologi Akuntansi Syariah. Ini hanya bisa dilaksanakan jika akuntansi tidak hanya berpandangan pada diskusi teknis tetapi diarahkan pada diskusi ontologi. Permicu perubahan sudut pandang ontologi terletak pada pendidikan akuntansi yang harus selalu membawa kesadaran pada kesejahteraan masyarakat daripada kesenangan pribadi.
       Akhirnya, kunci yang mendasar dari antropologi Islam dan semua turunannya (akuntansi, ekonomi, dan disiplin lainnya) adalah pengakuan dari corak budaya dibawah tauhid. Nilai Islam adalah universal, tapi nilai-nilai tersebut tidak akan mengurangi corak budaya yang ada sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa semua budaya adalah sama kecuali taqwa.

0 Go Comment:

Post a Comment